Senin, 22 Desember 2008

The Old Man and The Sea

Oke, aku tau dulu aku pernah bilang ini cerita mungkin ga aku resensi, tapi rasanya ga tahan juga kalo mbiarin buku bagus kaya gini ga disebar ke orang lain. Lagian, produksi baca buku sekarang lagi berkurang, jadi aku kirim ini aja dulu.


Sampul
Sampul dari karya masterpiece buatan Ernest Hemingway ini cukup sederhana, gambar seekor ikan pedang dengan sirip yang luar biasa besar sedang melompat keluar dari dalam air. Background-nya putih, sementara warna air lautnya sendiri dibagi menjadi tiga warna biru yang berbeda-beda. Cukup sederhana dan juga cukup menggambarkan isi ceritanya tentang perjuangan seorang nelayan tua menangkap ikan raksasa. Nama pengarang di bagian atas dicetak dengan huruf berwarna emas yang keren dengan ukuran yang hampir sama dengan ukuran huruf judulnya sendiri, sepertinya memang untuk menonjolkan nama Hemingway sendiri. Satu tambahan terakhir dari sampul depan novel ini adalah sebua stempel karya Masterpiece warna merah yang memang cocok diberikan pada novel ini.

Sementara di sampul belakang tidak tertulis sinopsis singkat novel ini. Tidak juga berisi endorsement dari orang-orang penting tentang betapa dahsyatnya karya Hemingway ini, melainkan berisi pencapaian prestasi Hemingway dalam dunia tulis menulis, antara lain hadiah Pulitzer pada tahun 1953; Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters juga pada tahun 1953; dan penghargaan paling bergengsi dalam dunia kepenulisan, yakni Nobel Sastra pada tahun 1954! Sebuah bukti kedahsyatan karya Hemingway. Ditambah juga sedikit pujian penerbit atas eksekusi Hemingway dalam penulisan novelnya ini.

Main Story
Cerita dalam buku ini sebenarnya sederhana, perjuangan mati-matian seorang nelayan tua dalam menangkap ikan, dimana sebelumnya selama sekitar 84 hari dia tidak pernah menangkap satupun ikan. Santiago, nama nelayan tua itu, sangat ingin mendapatkan ikan walau cuma seekor demi mengakhiri nasib buruknya. Di permulaan buku, dia sering sekali berkata kalau nasib sialnya akan hilang dalam 84 hari, dan pada hari ke 85 nasib baiknya akan muncul lagi. Pada hari ke 85 Santiago akhirnya berlayar sendirian ke lautan yang lebih jauh dan dalam dari laut yang biasa dilayarinya sendirian. Tanpa bantuan dari seorang bocah laki-laki yang bertekad ingin membantunya di hari ke 85-nya.

Singkat cerita, Santiago mulai memancing, beberapa kail sekaligus. Awalnya ia tidak mendapat apa-apa, samai akhirnya keberuntungan yang ditunggu-tunggunya itu datang juga. Seekor ikan yang luar biasa besar menangkap umpannya dan kail pancingnya terus terkait pada mulut ikannya. Santiago akhirnya harus berjuang habis-habisan menarik sang ikan sampai dia berhasil diangkut ke atas kapalnya, walaupun ikan itu telah menariknya sampai tiga hari tiga malam di atas kapalnya!

Ceritanya dalam novelette ini bukan tentang penyelamatan dunia ataupun pencarian jati diri melainkan tentang perjuangan. Bagaimana semangat dan sikap keras kepala Santiago terus menyala dalam dirinya selama tiga hari di atas lautan bersama ikan yang ganas. Diakhiri dengan ending yang sangat pas pula. Sangat puas rasanya membaca novelette satu ini.

Gaya Penulisan
Aku nggak bisa bilang apa-apa soal gaya penulisannya selain gaya penulisannya benar-benar hebat dan dahsyat. Aku tidak bisa menemukan satupun kekurangan dalam gaya penulisannya karena memang tidak merasa sedang membaca buku. Seringkali adegan-adegan dalam buku ini terbayang dalam kepala seperti sedang melihat film. Cara Hemingway membawa pembaca dari halaman awal cerita sampai halaman akhirnya, wlaaupun tidak dibagi dalam bab-bab, membuatku tidak bisa melepaskan buku ini sampai jauh tengah malam. Belum lagi monolog Santiago ketika di tengah lautan, sendiri, dan berharap dia membawa garam.

Singkat kata, buku yang harus dibaca oleh semua orang, apalagi yang ingin belajar cara membuat cerita yang dahsyat. Kalaupun harus kucari kelemahannya, itu mungkin ada di terjemahan dan beberapa istilah kapal yang aku ga tau, tapi ga terlalu mempengaruhi keasyikan membaca kok. Oh, ya, dan harga yang terlalu murah. Karya luar biasa seperti dijual cuma dengan harga Rp 31.000 padahal ada banyak buku lain yang kualitasnya ga seberapa dibanding buku ini dijual dengan harga yang jauh lebih mahal, padahal kalau buku ini dijual dengan harga yang lebih mahal juga setimpal kok dengan kualitasnya.

Skor: 4,5/ 5

Kamis, 27 November 2008

Sang Penandai


SAMPUL

Tentang sampul, kalo boleh dibilang Sang Penandai cukup bagus dalam membuat sampulnya. Gambar kelima tokoh utama dan siluet sebuah kapal di latar belakang cukup memberi gambaran tentang isi cerita yang sebagian besar berkisah tentang penjelajahan laut dan ilustrasi tokoh utamanya cukup memberi gambaran tentang tokoh utama yang akan berperan dalam cerita ini nantinya. Hanya saja, ada sedikit ganjalan. Mungkin ada beberapa orang yang beda pendapat, tapi gambar ilustrasi para tokoh yang terdapat pada sampul depan novel ini terasa mirip dengan karakter-karakter yang ada di LOTR. Sang Penandai berjubah putih terasa begitu mirip dengan Gandalf; Laksamana Ramirez yang memegang pedang bisa disamakan dengan Aragorn; dan sosok Jim terasa mirip dengan Frodo. Mungkin ini bukan merupakan suatu kesengajaan dari sang illustrator, tapi kemiripan seperti ini yang dulu sempat bikin aku mengembalikan buku ini ke dalam rak, bukannya ke tas belanja. Sampai akhirnya adaperdebatan tentang isi novel ini di internet dan menjadi penasaran sendiri dengan isinya sampai aku cari lagi.

Pada sampul belakang, warnanya terkesan gelap dengan sedikit “noda” warna terang. Seperti novel Tere-Liye lainnya yang sempat aku temukan di toko buku, bagian belakang novel ini begitu penuh dengan endorsement sampai-sampai tidak ada tempat untuk sinopsis cerita. Entah apa ini memang strategi dari mas Tere sendiri atau bukan, tapi sampul belakang tanpa sinopsis ini tidak berhasil membuatku tertarik dengan isi bukunya. Setidaknya, sampai ada perdebatan seru di internet antara pendukung dan pencela novel ini yang akhirnya memaksa aku hunting novel ini sekali lagi.

Dan, berbicara tentang endorsement yang terdapat di bagian belakang novel ini, terdapat beberapa nama yang sudah cukup terkenal memberikan endorsement untuk buku ini. Seperti penulis novel terkenal, Habiburrahman El Shirazy, dan penyair Taufiq Ismail. Bagi penggemar karya-karya kedua orang tersebut, pasti menjadi ingin tahu tentang isi dari novel ini.

MAIN STORY

Main story. Seperti yang sudah banyak beredar di internet, dan dari sampul depannya, setting cerita dalam novel ini banyak terdapat di sebuah ekspedisi perjalanan sebuah armada kapal, yang diberi nama Armada Kota Terapung, untuk menemukan Tanah Harapan. Karakter utama yang menjadi mata pembaca sepanjang cerita adalah Jim, seorang kelasi yang beberapa hari sebelum Armada Kota Terapung berlabuh di kotanya, kehilangan sang kekasih hati akibat bunuh diri. Setelah sang kekasih pergi, Jim didatangi oleh seorang pria tua misterius yang mengaku bernama Sang Penandai. Sang Penandai mengaku kepada Jim kalau ia adalah sang pembuat dongeng. Ia membuat orang-orang menjalani kisah bagai dongeng untuk akhirnya diceritakan kepada orang lain.

Seolah untuk menekankan perannya sebagai pemandu cerita, ia menceritakan kepada Jim pendapatnya tentang sebuah cerita yang sudah melegenda 400 tahun di kota tempat asal Jim. Bahkan mengaku berada disana dan memandu tokoh utama dalam dongeng tersebut. Akhirnya ia malah merendahkan dongeng tersebut dengan menyebutnya bodoh. Setiap orang bisa berpendapat berbeda tentang Sang Penandai pada saat ini, tapi menurutku pendapatnya itu justru membuatku mempertanyakan konsistensi sifat dan perannya sebagai pembuat dongeng.

Begini, Sang Penandai pada awal cerita sampai pada akhirnya selalu mengatakan kalau perannya adalah membuat dongeng yang nantinya bisa dikenang dan diceritakan kepada orang di seluruh dunia. Tapi sekalinya ada sebuah dongeng yang begitu melegenda, bertahan sampai ratusan tahun, bahkan menjadi sebuah tradisi di kota itu malah dikatakan bodoh olehnya. Padahal dia sendiri mengaku ikut membantu pembuatan dongengnya! Sesuatu yang sampai akhir buku tidak dijelaskan kenapa.

Cerita berlanjut dengan Jim akhirnya mengikuti ekspedisi Armada Kota Terapung mencari Tanah Harapan. Disini Jim berteman dengan sesama kelasi bernama Pate (yang sampe sekarang aku ga tau dibaca pake cara baca orang Indonesia, ato orang Inggris?). Setelah beberapa lama, halangan besar pertama bagi Armada Kota Terapung akhirnya muncul. Pasukan perompak Yang Zhuyi.

Dikisahkan kalau empat puluh kapal Armada Kota Terapung berhadapan dengan ribuan kapal milik perompak Yang Zhuyi. Dengan perbedaan kekuatan sebesar itu pun Yang Zhuyi tidak langsung menyerang habis-habisan armada pimpinan Laksamana Ramirez, tetapi menyerang perlahan-lahan dengan mengirim ribuan kapal kecil (seperti kano, IIRC). Dengan cara ini, Yang Zhuyi seolah-olah memaksa Laksamana Ramirez bertarung hand-to-hand di atas kapal, bukannya saling tembak peluru meriam. Peluru meriam memang sempat ditembakkan oleh sang Laksamana dalam serangan pertama Yang Zhuyi, tapi dikisahkan kalau peluru meriam ini tidak berguna. Tapi, bagaimana bisa? Tiga puluh kapal perang dengan sepuluh meriam pada tiap sisinya berarti bisa menembakkan tiga ratus peluru meriam sekali tembak! Kalaupun tidak kena semua, setelah beberapa kali tembakan, berarti sekitar seribu peluru ditembakkan, kalo kena sebagian, paling nggak keliatan efeknya ke kapal kecil Yang Zhuyi itu. Masa segitu banyak peluru meleset semua?!

Yang juga bikin aku kaget adalah, setelah tembakan dari tiga puluh kapal itu, kapal-kapal kecil dari Yang Zhuyi kelihatannya tahan ombak. Tidak ada yang terbalik karena diterjang ombak. Padahal, kalo dalam imajinasiku, sewaktu tiga ratus peluru meriam yang gede amit-amit itu menghantam laut pada waktu bersamaan, paling nggak bakal ada gelombang yang cukup buat mengombang-ambingkan kapal kecil segitu banyak. Dan kalo pelurunya sampe ratusan gitu, bukan ga mustahil kan itu kapal kecil bakal kebalik gara-gara ombak?

Pertempuran maha dahsyat ini juga berlangsung lama banget. Sampe sekitar satu bulan kalo aku ga salah inget. Dan dalam pertempuran selama itu aku makin ngerasa kalo Laksama Ramirez itu lemah banget. Bayangin, dia diserang berhari-hari sama musuh yang pake strategi yang sama terus-terusan, dan dia ga bisa bikin strategi balasan buat ngelawan strategi andalan musuhnya itu? Lame! Berakhirnya pertempuran itu juga parah banget. Bikin aku keluarin pertanyaan yang udah aku pernah tanya di Fireheart: “Kenapa ga dipake dari tadi?!” Sampe mesti nunggu satu orang tua cerewet muncul buat ngasi tau strategi yang kayanya justru udah disiapin sama Laksamana sendiri! Payah. Dan kalo emang Laksamana iu kewalahan ngelawan pasukan perompak itu, kenapa dia gak mundur aja? Toh, dia cuman dihadang sama mereka, yang berarti jalan dia buat kabur masih kebuka lebar banget! Kenapa ga lari buat minta pertolongan misalnya, daripada ngabisin sekian banyak waktu ngorbanin bahan makanan, nyawa pasukan, dan satu kesempatan ketemu sama Sang Penandai.

Selesai menghadapi Yang Zhuyi, perjalanan ekspedisi pimpinan Laksamana Ramirez terpaksa berhenti sebentar di kota pelabuhan terdekat buat ngereparasi kapal-kapalnya. Selama waktu itu, Jim sama Pate berkelana sampai ke puncak Adam, dimana di dekat puncak itu Jim sempat bertemu dengan seorang gadis yang sempat membuat dia jatuh cinta. Tapi sayang, akhirnya Jim harus meninggalkan gadis itu dan ikut serta kembali bersama dengan Armada Kota Terapung.

Ekspedisi terus berlanjut sampai berbulan-bulan. Armada kapal Laksama Ramirez terus bertahan empat bulan di atas laut tanpa menepi berkat jaring raksasa pemberian walikota tempat mereka berlabuh sebelumnya. Sejujurnya, aku agak ngerasa aneh mbayangin kapal besar seperti kapal Laksamana Ramirez buang sauh buat ngelempar jaring dan nyari ikan. Soalnya aku ngerasa selama ini kapal yang cari ikan pake cara kaya gitu cuma kapal nelayan. Tapi berhubung pengetahuanku soal kapal dan mencari ikan kaya gini ga terlalu banyak, aku komentar segini aja.

Akhirnya kapal Laksamana sampai di kota baru, kota Champa yang deskripsi latarnya rasanya mirip-mirip sama Negara Cina. Di kota ini, Laksamana dan pasukannya membantu penduduk kota menghadapi pemberontak yang jago ilmu kung fu. Tapi masalahnya justru jauh lebih besar bagi Jim, karena di kota ini Jim bertemu dengan seseorang yang bisa dibilang tiruan sempurna dari Nayla-nya. Mulai dari wajah hingga suara, semuanya mirip! Perasaan Jim terombang-ambing lagi. Apalagi setelah walikota menawarkan anaknya, yang mirip dengan Nayla itu, menjadi istri Jim dan Jim bisa tinggal dengan segala kemewahan pemimpin kota. Pilihan Jim terbagi antara menerima tawaran dan menjadi calom pemimpin kota, atau ikut kembali bersama Laksamana untuk menemukan Tanah Harapan? Sebuah pilihan yang sulit, tapi akhirnya Jim lebih memilih meninggalkan kota itu dan membantu Laksamana.

Perjalanan hampir mencapai akhir. Armada Kota Terapung terus berlayar di daerah lautan yang seolah tak bertepi. Entah berapa lama mereka berlayar dengan hanya melihat laut, laut, dan laut. Tanpa ada kejelasan bahwa mereka akan segera sampai menuju Tanah Harapan. Kondisi ini akhirnya memaksa sebagian prajurit dan kelasi memulai pemberontakan di atas Armada Kapal, bahkan sampai menyerang kapal utama tempat sang Laksamana berada. Akhirnya Laksamana memerintahkan perlawanan penuh terhadap para pemberontak, walau sebenarnya aku lebih mengharapkan Laksamana untuk menunjukkan kemampuan memimpinnya disini. Aku ingin lihat kemampuan diplomasi dan leadershipnya yang membuat dia bisa menjadi Laksamana dengan memberi satu perintah, atau penjelasan kepada prajuritnya sebelum akhirnya memilih menggunakan kekerasan. Memang dia kalah suara dalam rapat dengan para pemimpin kapal lainnya, Laksamana menginginkan damai sementara pemimpin kapal lainnya meminta kekerasan. Tapi justru disitu seharusnya kemampuan sebagai Laksamana ditunjukkan! Dia harus bisa dan berani menjalankan apa yang menjadi keputusannya sendiri walau menentang pendapat banyak pihak. Karena, dia laksamana-nya! Perintah dia atas seluruh kapal adalah mutlak! Dia harusnya lebih berani dalam menentang keputusan pemimpin kapal lainnya dan mencoba bernegosiasi dengan para pemberontak terlebih dulu.

Keudian, akhir cerita. Aku nggak mau banyak spoiler disini, karena itu hartanya penulis, tapi aku mau bilang kalo aku kecewa sama endingnya. Setelah sekian banyak petualangan dan perjuangan yang dilalui Jim dan kawan-kawannya, kenapa ending ekspedisi kapalnya malah cuma begitu aja? Padahal kalo mau dipanjangin lagi juga ga masalah tuh. Perjumpaan dengan Sang Penandai di akhir cerita juga yang bikin aku kecewa. Seperti yang dulu pernah di bahas di salah satu forum di internet, akhir cerita ini Sang Penandai bukannya menolong Jim yang memanggilnya malah ceramah panjang lebar entah berapa halaman tentang akhir yang seharusnya dilalui Jim. Padahal Jim sudah melalui semua petualangan itu sendiri, seharusnya dia bisa membuat kesimpulan sendiri! Gak perlu penjelasan panjang lebar dari orang yang ga nolongin dia sewaktu dia perlu!

GAYA PENULISAN

Hmm, oke. Sekarang mbahas soal gaya penulisan Tere-Liye. Komentar pertama dari gaya penulisannya adalah, bingung. Aku bingung sama sudut pandang yang dipake sang penulis, juga soal setting tempatnya. Awalnya, berdasarkan review yang aku baca di internet, aku anggep cerita ini ngambil setting di abad pertengahan. Standar gimana orang Indonesia bikin cerita fantasi. Tapi kemudian aku ketemu kata "kantor" disini. Otomatis aku jadi pindah pikiran, mbayangin kalo mungkin settingnya udah modern dikit. Jadi aku bayangin setting kotanya mirip-mirip sama London abad 19. Ternyata kemudian senjata utama para tokoh disini adalah pedang! Lihatlah! Deskripsi settingnya udah bikin aku bingung setengah mati. Jika kalian membaca novel ini dengan asumsi yang aku punya, niscaya kebingungan kalian akan serupa.

Lalu, sudut pandang. Biasanya sudut pandang yang diambil dalam novel fantasi adalah sudut pandang orang ketiga. Tapi dalam novel ini aku merasakan awal cerita seperti diceritakan dengan sudut pandang orang kedua, dengan kata "kalian" tersebar di berbagai tempat. Awalnya aku anggep bagus, baru pertama kali ini aku ketemu sama novel yang pake sudut pandang orang kedua. Tapi tanpa pertanda dan permisi sudut pandang itu diubah menjadi sudut pandang orang ketiga! Apalagi perubahan sudut pandang itu bisa terjadi dalam satu paragraf tanpa pemisahan sebelumnya. Lihatlah! Bagaimana penggunaan sudut pandang yang tidak konsisten ini bisa membingungkan orang yang membacanya. Jika kalian melihat wajahku waktu baca novel ini mungkin sudah bertanya-tanya, "Sakit perut kamu, Dan?"

Terus, aku ga tau apa ini kebiasaan atau ciri khas Tere-Liye, tapi buku ini ditulis dengan menggunakan kalimat yang bernada puitis. Lengkap dengan penjabaran emosi sang karakter melalui gaya puitisnya, sampai ke penemuan kosa-kata baru dari Tere-Liye untuk mengakomodasi gaya penulisan puitisnya. Dan, walau bagi sebagian orang gaya tulisan ini mungkin bisa dibilang bagus atau indah, aku malah ngerasa asing dan kadang-kadang ketawa sendiri waktu baca tulisan puitisnya itu. Mungkin agak sedikit menyinggung, tapi coba aku kasih contoh tulisannya.

Semua terlihat jingga. Matahari senja hampir terbenam di ufuk barat. Langit berwarna jingga. Buih ombak laut yang tenang memantulkan warna jingga. Bangunan-bangunan kota terlihat jingga. Pasir yang dipijak berwarna jingga. Gumpalan awan putih terlihat kemerah-merahan, jingga.

Hati Jim juga sedang jingga.


Nah! Ini cuman salah satu kalimat yang bikin aku ketawa waktu baca novel ini. Mungkin sang penulis sedang mencoba menjelaskan kondisi kota waktu itu yang penuh warna jingga. Tapi apa hubungannya warna itu sama kondisi hati Jim? Sampe nyebut hati Jim sedang jingga, emang hati jingga apa artinya?

Itu baru satu contoh dari sekian banyak kalimat puitis yang dibuat Tere-Liye dan salah satu contoh yang bikin aku ketawa. Selain kalimat puitis, Tere-Liye juga sering mengungkapkan perasaan karakter, atau apa yang dilakukan karakter dengan kalimat-kalimat pendek. Sering cuma dengan satu kata. Terkadang, cara ini berhasil, tapi terkadang juga aku rasa ga pas dan malah membuatku ga bisa masuk kedalam alam pikiran sang tokoh dan tindakannya. Tergantung orangnya juga mungkin.

Selain kalimat puitis dan kalimat-kalimat pendek itu ada satu lagi kebiasaan Tere-Liye, yaitu dia sangat sering menggunakan huruf italic untuk menekankan maksud tulisannya. Terkadang bukan cuma di kalimat2 yang penting tapi kalimat atau kata yang menurutku sama sekali tidak perlu diitalic. Entah kenapa dan apa maksud Tere-Liye dengan cara penulisan seperti ini, tapi yang jelas cara penulisan ini sangat mengganggu proses membaca sampai akhir.

Tapi ada satu yang aku bilang bagus dari novel ini, yaitu kepribadian tiap karakter yang jelas terlihat dari tindak-tanduk dan ucapannya. Khusus untuk Jim, hal ini juga terlihat dari konflik batinnya yang seolah selalu ada dari awal hingga akhir cerita. Sampai ia dijuluki Perwira yang Menangis dan sejenisnya. Walaupun aku agak aneh mbayangin gimana caranya orang bisa berantem sambil nangis gitu.

Ehm, aku ga tau ini penting apa nggak, tapi salah satu “kosakata baru” yang dibuat Tere-Liye disini juga termasuk penggunaan satu kata metafora tanpa pasangannya. Seperti jerih tanpa payah, atau kuyup tanpa basah (yang akhirnya juga jadi suasana hati Jim). Maksudnya emang nangkep tapi sempet bingung juga waktu baca. Dan juga Tere-Liye juga pake istilah Panekuk disini untuk sesuatu seperti prajurit ato semacamnya, sementara setauku Panekuk itu istilah bahasa Indonesia untuk Pancake. Aku ga tau kalo ada istilah lain, tapi jelas ini cukup bikin aku /swt.

Jadi, kesimpulannya novel ini lumayan bagus buat dibaca. Mungkin bisa jadi novel yang bagus banget buat orang yang suka gaya bahasa puitisnya, tapi buat yang ga kebiasa bolehlah dibaca buat selingan dari novel fantasi lokal yang selalu berisi tema “Pahlawan menyelamatkan dunia”

Skor: 3/ 5

Senin, 17 November 2008

Cerita yang tidak sempat diresensi

Buat ngisi blog sambil nunggu resensi berikutnya selese, aku mau pasang daftar buku yang ceritanya ga sempet aku resensi. Dan mungkin bakal lama sampe aku resensi lagi. Buku2 ini aku bagi jadi dua kategori, yang memuaskan dan yang tidak.

Tidak memuaskan:
Pinissi; Kisah Orang-Orang Setinggi Lutut.
Buku ini ga selese aku baca semata karena gaya ceritanya seperti sebuah dongeng untuk anak-anak. Yang mungkin juga jadi target market dari sang pengarang. Dan karena aku udah ga tertarik sama dongeng buat anak-anak, kayanya wajar kalo aku ga terlalu suka sama buku ini.

Candikala; Misteri Pulung Gantung
Kalo disuruh jelasin kenapa aku ga suka buku ini, aku bakal bilang "Tertipu endorser." Endorser di bagian belakang buku, yang membuatku tertarik membaca dan membeli bukunya, ternyata jauh berbeda dengan isi buku yang aku baca. Kesemua endorser itu berisi pujian kepada penulis, bagaimana mereka tidak bisa meletakkan bukunya setelah mulai membaca. Tapi aku justru merasa sangat bosan dan kecewa membaca Candikala ini. Benar-benar tidak worth it dengan uang yang aku keluarkan untuk membeli. Begitu banyak kesalahan dalam penulisan kalimat dan dialog sehingga membuatku berpikir, apa pantas diberi pujian setinggi itu?

Shalahuddin Al-Ayyubi
Masalah utama aku ga selese baca buku ini, karena buku ini tidak membuatku merasa "bergairah" untuk terus membaca. Data-data sejarah sang pengarang mungkin sangat banyak dan mencukupi, tapi aku tidak merasa tertarik untuk membaca sampai akhir.

Memuaskan:
Harry Potter series
Eragon
Eldest
The Old Man and The Sea
Golden Compass
Banyak buku, dengan satu alasan: Kesemua buku-buku ini membuatku serasa tertarik masuk kedalam dunia mereka, sehingga aku tidak merasa sedang membaca buku tapi seperti sedang mengikuti kisah perjalana sang tokoh utama dari awal hingga akhir. Membaca buku2 ini, serasa seperti sedang melihat sebuah film.

Senin, 27 Oktober 2008

Fireheart

FIREHEART; LEGENDA PALADIN; SANG PEMBURU


Sampul

Sampul dari buku satu ini bisa dibilang lumayan menarik perhatian; gambar seorang ksatria berambut merah dengan jubah yang hampir sama merahnya menutupi sebagian besar sampul depan novel ini. Kesan pertama dari melihat novelnya adalah “Dia ini pasti tokoh utamanya.” ga salah sih, walau dia yang ada di sampul novel ini bukan tokoh utama, tapi salah satu anggota kelompok tokoh utama. Di bagian atas sampul terdapat judul novel ini yang diberi efek timbul yang keren, berikut kedua sub judulnya. Ya, novel ini memang cuku unik dibandingkan novel lain yang pernah kubaca karena punya dua sub judul itu. Mungkin selain trilogi pengarangnya berencana membuat lebih banyak serial Fireheart.

Ada satu yang hampir luput dari perhatian waktu pertama kali melihat sampul Fireheart. Di bagian backgroundnya terdapat gambar sebuah menara atau istana yang sebagian besar tertutup oleh tubuh sang ksatria. Seolah ingin menunjukkan setting dari cerita. Pretty interesting. Bagian bawah dari sampul depan diisi dengan lambing penerbit Sheila. Sementara bagian belakang sampulnya berisi sinopsis dari novel ini. Berisi cuplikan dari adegan berbahaya yang dihadapi tokoh utama dan tujuan utama sang tokoh utama yang, tentu saja, harus menyelamatkan dunia dari ancaman bangkitnya kembali penguasa kegelapan.

Main Story

Cerita dari novel ini diawali dengan sedikit penjelasan mengenai dunia dan kerajaan yang menjadi setting cerita. Ditambah juga dengan sedikit penjelasan tentang pemburu dan guild mereka. Cukup ngasih gambaran tentang arti sub judul dan pekerjaan sang tokoh utama. Cerita lalu berlanjut tentang tugas yang diterima sang tokoh utama, yang bernama Robert, untuk membantai Orc dan pasukan kobold-nya. Seperti tipikal cerita seperti ini, sang tokoh utama awalnya berpetualang sendirian, apapun alasannya. Singkat kata, Robert akhirnya sampai di gua markas Orc dan pertarungannya dimulai. Aku sempet nemu beberapa masalah dalam logika di adegan bertarungnya ini.

Yang pertama, Kobold digambarkan sebagai makhluk setengah manusia setengah anjing, tapi waktu pasukan Kobold itu nyari Robert di dalam gua kok kayanya susah banget nyarinya. Kenapa ga pake penciuman anjingnya aja? Robert ga akan bisa sembunyi dari pasukan Kobold itu mau gelapnya gua kaya gimana juga. Berikutnya waktu si Kobold nggigit dada Robert, aku agak susah mbayanginnya. Gimana caranya rahang anjing bisa kebuka cukup lebar buat nggigit rompi Robert sampe sobek gitu? Kalo yang kegigit bagian lengan ato bahu aku masih bisa mbayanginnya. Bagian akhir pertarungannya juga kayaknya dibikin berakhir begitu saja. Robert menebaskan pedangnya untuk membuat satu jurus yang membelah tubuh Kobold menjadi dua bagian. Nah, kalo punya jurus hebat kaya gini kenapa ga dipake dari tadi?? Lebih gampang nyerang dari jauh daripada harus deket-deket sama musuh yang bikin dia luka parah sampe pingsan gitu.

Kemudian cerita dilanjutkan dengan adegan flashback si Robert ke suatu masa di waktu kecilnya. Sewaktu sepasukan Orc tanpa sebab yang jelas membumihanguskan desa kesayangannya. Ini pendapat pribadi dan orang lain bisa jadi punya pendapat yang beda, tapi menurutku cerita masa lalunya Robert ini terlalu panjang. Terlalu mudah ditebak. Dan sekaligus menghilangkan potensi greget dan pertanyaan yang bisa saja timbul di benak pembaca nanti kalau kisah masa lalu ini ditiadakan. Selama aku membaca dua bab khusus tentang masa lalu Robert ini yang ada dikepalaku cuma “Cepetan balik ke story utama dong!!” kisah dalam flashback-nya ini juga terasa lurus-lurus saja, akhirnya sudah bisa ditebak dari sinopsis di belakang buku.

Oke, kisah masa lalu akhirnya selesai dan perjalanan Robert akhirnya dimulai lagi. Dia mulai mendapatkan rekan-rekan baru dalam perjalannya dan berkeliling dunia semakin jauh dari kota asalnya. Seperti genre sejenis, Robert akhirnya berhadapan dengan monster-monster berwujud mengerikan, bertemu dengan karakter baru, dan terus bertualang mencari pekerjaan. Sampai dia bertemu dengan seorang kurcaci yang ternyata masih punya hubungan dengan salah satu rekan barunya. Robert menemani kurcaci itu kembali ke gunung tempat tinggalnya, hingga akhirnya Robert dituduh mencuri benda penting bagi kurcaci dan bahkan hampir dibunuh! Tapi untungnya, dia bisa selamat dari hukuman pembunuhannya itu.

Ada satu keanehan lagi yang aku temuin disini sih, yaitu masalah tempat tinggal kurcaci. Kenapa Bapa Andreas, kurcaci yang ditolong Robert, tinggalnya malah di gubuk bukan di gua? Aku ngerti sih kalo dia diasingkan sama kurcaci yang lain sampe tempat tinggalnya terpencil gitu, tapi apa dia ga bisa bangun gua baru di lembah itu buat tempat tinggalnya? Sori kalo pertanyaan ga penting, cuman bayanganku selama ini kurcaci itu tinggal dan tidur di gua, bukan di gubuk kayu.

Setelah dari gunung kurcaci, cerita lalu di-skip sampai Robert menerima sebuah surat undangan untuk melindungi sebuah pedang iblis. Pedang yang dikhawatirkan akan diambil kembali oleh sang pewaris kegelapan. Tidak cuma Robert, tapi puluhan, atau mungkin ratusan pendekar lain juga menerima surat serupa.

Setelah ini cerita secara mendadak menjadi penuh dengan karakter dan adegan action. Sampai bingung nama ini buat karakter yang mana. Apalagi ada dua orang yang punya gelar kaya bangsawan gitu. Selain para tokoh utama, yang kadang di narasi dijelasin pake istilah “pahlawan”, ada banyak sekali karakter lain yang berada disini untuk membantu para pahlawan. Sekaligus juga sebagai korban yang mati dalam perjuangannya. Ada kelemahan lain di bagian cerita ini selain masalah nama yang suka ketuker-tuker itu (masalah pribadi. Mungkin pembaca lain malah ga kerasa), yaitu saking banyaknya karakter yang ada disini, di tengah deskripsi bisa tiba-tiba ada satu jenis makhluk baru yang tadinya tidak diberitahukan kedatangannya. Ras seperti mausia kambing, tikus, atau kadal juga melengkapi daftar para pahlawan penjaga pedang iblis.

Dan, ngomong-ngomong soal kadal, logika soal manusia kadal itu juga agak aneh buat aku. Manusia kadal disini dideskripsikan sebagai makhluk berdarah dingin (dalam arti sebenarnya) yang menyukai tempat dingin! Which is weird, karena makhluk berdarah dingin seperti itu harusnya malah lebih suka tempat panas buat menghangatkan tubuhnya. Kalo nongkrong di tempat dingin bukannya malah jadi mati beku tuh kadal??

Cara para pahlawan melindungi pedang sihir juga aku masih agak ga ngerti. Buat ngelindungi pedang sihir Kraal’ shazaar dari sesuatu yang beredar melalui desas-desus, para pahlawan justru melewati semua penghalang dan jebakan yang disiapkan untuk melindungi pedang iblis sampai masuk jauh ke dalam. Kesannya kaya mereka sengaja buka jalan, ngancurin semua penjaga, lalu dengan pedenya berdiri di depan penghalang terakhir untuk menghabisi sang pewaris, setelah membuka jalan lebar untuknya berjalan santai dari pintu masuk kuil sampai halangan terakhir. Padahal lebih gampang, lebih simple, dan ga makan banyak nyawa kalo mereka semua bikin pasukan besar di depan kuil tempat pedang disegel sambil nunggu sang pewaris datang buat akhirnya dikeroyok rame-rame. Ga usah susah-susah ngalahin semua penjaga disana.

Setelah sang pewaris dikalahkan, sempet ada suasana tegang yang dibangun waktu Robert, dkk ketinggalan kapal. Tapi habis gitu jadi ilang begitu aja. Coba ditampilin adegan berantemnya. Ato dikasi satu plot twist di bagian itu. Pasti jadi lebih bagus.

Gaya Penulisan

Alright, sekarang membahas gaya penulisannya. Satu yang mesti aku bahas lebih dulu adalah format dari penempatan paragraf dan dialog dalam novel ini. Setiap paragraf dalam buku ini tidak ditempatkan secara penuh dari atas sampai bawah halaman, tapi ada jeda bagian putih yang keliatannya lebar banget dan sempet bikin aku ngerasa agak asing waktu awal-awal baca. Gara-garanya ini novel pertama yang aku baca yang pake penempatan paragraf kaya gitu. Penempatan dialog juga kayanya lebar banget antara paragraf diatas sama bawahnya. Ga terlalu mengganggu sih, cuman kerasa agak asing aja.

Dan, bagian berikut dari reviewanku ini mungkin bakal bikin banyak orang ngamuk (terutama yang suka sama novel ini), tapi kalo boleh jujur aku butuh perjuangan berat buat nylesein baca novelnya. Satu-satunya bagian yang membuatku tertarik adalah adegan berantemnya, dan pas adegan lagi “damai-damainya” aku malah ga bisa ngenikmatin. Malah cenderung kerasa bosen. Sempet beberapa kali aku punya pikiran buat put down this book and read something else, tapi tiap kali aku punya pikiran kaya gitu langsung ada suara dalem kepala yang bilang “Liat tuh! Om Pur aja udah bikin resensinya Fireheart. Masa kamu ga bisa?” Dan dengan semangat ingin membuat resensi yang baik buat novel ini, aku teruskan membaca sambil mencari sebab kenapa aku ga bisa ngenikmati baca novelnya.

Setelah perjuangan panjang membaca dan menganalisa, akhirnya aku nemu alasannya kenapa aku ga bisa enjoy baca novel ini. Dalam novel ini, aku ga ngerasa lagi ada di sebuah dunia fantasi dan melihat aksi petualangan para tokohnya. Aku juga ga ngerasa lagi ada dalam alam pikiran sang tokoh kalo misalnya tokoh itu lagi berpikir. Aku malah ngerasa kaya lagi diceritain kisah perjuangan Robert, dkk oleh orang lain yang sudah melihat petualangan mereka.
Mungkin kurang jelas kalo aku cuman ngomong gitu aja. Ini coba aku kasih contoh beberapa kalimat yang buat aku susah buat masuk kedalam alam fantasinya:

Dengan keras kepala, Eloise menendang tanah dan berjalan galau ke dalam istana. Sambil berjalan, ia melihat Robert sedang mengamatinya dengan tatapan acuh tanpa ekspresi.

Eloise berpikir,

Tampang anak ini muram sekali! Tapi, dia menarik juga. Hmm, mungkin…

Robert pun berpikir,

Dasar anak manja! Aku pasti dapat kesulitan kalau berda di dekatnya!

Lalu, pelayan istana yang memandu Robert tadi muncul dan memberi peringatan pada Robert.


Nah, itu bagian dialognya. Benernya ada beberapa dialog lain, tapi satu ini udah cukup buat jadi contoh. Dari kalimat diatas, bagian Eloise berpikir dan Robert berpikir itu yang bikin aku ga bisa masuk dalem alam pikiran mereka. Aku tidak “merasakan” kalau mereka itu berpikir, tapi “diberitahu” kalo mereka itu lagi berpikir. Begitu juga ketika karakter merasa tegang, atau tertawa. Aku hanya diberitahu perasaan mereka tanpa bisa ikut merasakannya.

Mungkin karena itu juga aku jadi ngerasa bosen sangat sewaktu adegan udah keluar dari battle dan masuk masa tenang sesaat. Selain itu, tidak ada pertanyaan atau ketegangan yang dibangun yang bisa memaksa pembaca untuk terus membaca (at least for me). Untuk sisi Robert, bagian ini sudah tidak mungkin bisa timbul karena segala pertanyaan tentang masa lalu Robert sudah dijelaskan habis-habisan dalam dua bab flashback diawal-awal.

Selain itu, novel ini juga diisi penuh sama berbagai macam jurus yang dikeluarkan karakternya. Sayangnya kebanyakan jurus hanya dijelaskan berupa nama, tanpa deskripsi bagaimana gerakannya. Berbeda dengan jurus sihirnya yang diberi penjelasan tentang bentuk sihirnya. Selain itu pengarang, Andry Chang, juga sering sekali mengulang berbagai macam nama yang dibuatnya. Mulai dari nama kuda, sampai ke nama senjata. Awalnya memang bagus kalau tahu senjata itu punya nama, berarti bukan senjata sembarangan. Tapi kalau terlalu banyak jadi membosankan juga. Apalagi pengulangan itu bisa terjadi di adegan battle yang seharusnya dibuat ber-pace cepat dan menekankan adegan battle-nya sendiri.

Lalu, apa ga ada sisi baik dari novel ini? Ga juga. Selain kesalahan yang udah aku sebut diatas, sisi positif dari novel ini adalah kepribadian para karakter yang terasa jelas dan berbeda satu sama lain. Kita bisa dengan sekejap tahu sifat dan kepribadian khusus tiap karakter bahkan waktu karakter tiba-tiba menjadi bejibun banyaknya. Mulai dari Christoper yang ceroboh dan serakah; Bapa Andreas yang bertugas sebagai penenang dalam tim Robert; Kedua karakter bergelar bangsawan dan pemimpin elf yang ketiganya jelas banget pengen jadi pemimpin dalam kelompok besar para pejuang; Juga ada Tina, cewek penyihir yang jauh lebih dingin dan pendiam daripada Robert; Dan sebagainya. Overall, novel ini benernya worth reading, kalo aja aku ga gampang bosen ditengah-tengahnya .

Skor: 2/ 5

Rabu, 15 Oktober 2008

Nightfall; The Element Location

NIGHTFALL; THE ELEMENT LOCATION


Sampul
Sampul Nightfall, entah kenapa, sepertinya tidak terlalu menggambarkan isinya dengan tepat. Pada gambar sampul kita bisa melihat seorang ksatria berkuda sedang mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi ke angkasa. Di belakangnya terlihat gambar barisan pegunungan yang sangat panjang di bawah langit berwarna hijau terang. Entah kenapa berwarna hijau, mungkin akibat dua matahari yang menyinari planet yang menjadi setting cerita Nightfall ini. Di atas langit kita bisa melihat warna gelap yang menutupi sekitar tiga per empat halaman sampul buku dengan beberapa siluet planet di atasnya, seolah ingin menonjolkan gambar luar angkasa walau tidak ada petualangan ke luar angkasa di sini. Di bagian kiri atas juga terdapat lambing fantasylit ciptaan Gagas yang, entah kenapa, tidak ada di Cardan. Di bagian paling bawah sekali, di bawah kaki kuda, tercetak dengan huruf besar judul novel ini, berikut dengan sub-judulnya. Walau waktu pertama kali membaca juga masih belum jelas apa maksud sub-judul “The Element Location” itu.

Di sampul belakang terdapat gambar lanjutan barisan pegunungan dari halaman muka, dan warna gelap yang masih menutupi sekitar tiga per empat halaman. Di bagian gelap itu diisi dengan sinopsis dari novel ini, yang menurutku cukup kreatif cara menulisnya, karena ditulis dalam lingkaran cahaya serupa halo. Jadi semakin terasa kalo novel ini menceritakan tentang luar angkasa (walau sebenarnya tidak demikian). Sinopsis ceritanya juga tidak terlalu klise, instead cerita seorang pemain pedang menyelamatkan dunia, awal dari cerita ini justru tentang petualangan seorang teman Putri Kerajaan untuk mencari sang Putri yang melarikan diri. Walau akhir-akhirnya sang teman ini juga harus menyelamatkan dunia juga.

Overall halaman sampul ini aku nilai kurang sempurna, karena warnanya yang terlalu gelap dan hampir tidak ada hubungannya dengan isi cerita di dalamnya. Yang menonjol di sampulnya adalah tulisan judulnya yang bikin aku tertarik beli bukan karena judulnya keren, tapi udah sering denger slentingan kalo ini judul salah satu fiksi fantasi dari Indonesia. Dan aku penasaran juga sama perkembangan genre fiksi fantasi di Indonesia ini, makanya novel satu ini aku beli. Walaupun aku nemunya kebetulan di toko buku kecil waktu mudik kemarin.

Main story
Oke, ide awal ceritanya boleh jadi tidak klise, tapi bagaimana eksekusinya dalam novel? Jujur aja, aku agak kecewa sama tokoh utama novel ini, si Relva. Dia keliatan ga focus sama sekali sama tugas yang dikasih sang Raja ke dia buat nyelametin sang Putri yang notabene juga temennya sendiri. Kisah diawali dengan kepulangan sang Relva dari Gazzo, nama kota yang terletak di sebelah selatan Bestonia, Ibukota kerajaan. Dimana dia bertemu dengan teman lama yang ga pernah disebut lagi dalam cerita. Cerita berlanjut hingga Relva bertemu dengan sang ibu, Raja, diberi perintah oleh Raja, dan pergi lagi meninggalkan Bestonia. Diakhir awal ini juga ada sepenggal kisah tentang ayah Relva yang menurutku ga penting disebut sekarang, karena sampai akhir buku juga ga disebut apa-apa lagi tentang ayah Relva ini. Membuat kesan misteri yang dicoba ditimbulkan disini menjadi sia-sia saja.

Tanpa banyak kata, pencarian Relva akan Nairne, sang Putri Mahkota, dimulai. Dan seperti kisah fantasi apapun didunia, sang pahlawan selalu dihalangi dalam mencapai tujuannya. Halangan pertama baginya adalah sekelompok bandit, beranggota lima orang, yang menguasai seluruh hutan yang menjadi jalur perjalanannya. Disini saja sudah ada permasalahan logika yang terasa. Dilihat dari peta di halaman depan buku ini, hutan Woohurin yang akan dilewati oleh Relva sangat luas, sampai menutupi jalan lewat satu benua. Dan area seluas itu kok bisa-bisanya dikuasai cuma dengan lima orang?? Sudah begitu, untuk memberantasnya sampai harus memanggil mercenary segala. Kenapa tidak minta pasukan Kerajaan untuk datang dan menghabisi kelompok penculik itu? Habis perkara. Tidak perlu repot-repot membawa si tokoh utama melewati kisah filler yang tidak perlu.

Kisah filler? Ya, cerita ini banyak sekali diisi dengan kisah-kisah petualangan atau pertempuran sang tokoh utama melawan monster-monster yang menurutku tidak perlu. Saking banyaknya lama kelamaan misi awal mencari dan membawa Nairne pulang jadi tidak terasa lagi urgensinya dan sang tokoh utama jadi seperti berjalan-jalan semaunya (atau semau teman-teman barunya). Pokoknya, perjalanan si tokoh utama jadi tidak focus, sampai akhirnya di pertengahan cerita, sekitar halaman 150, baru disebut tentang Fire Location yang berhubungan dengan legenda Nightfall yang juga menjelaskan maksud sub-judul di cover depan. Waktu ini juga aku teriak dalam hati “Yes! Akhirnya nyebut konflik utama juga!” Sayangnya yang dijelaskan masih sedikit sekali dan beberapa puluh halaman setelahnya pun masih tidak ada kejelasan sama sekali tentang misi awal si Relva. Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, sampai akhir buku sekalipun tujuan awal perjalanan Relva masih belum ada kemajuan sama sekali. Memang ada satu bab khusus yang membahas tentang Nairne, tapi sama sekali tidak cukup untuk kelanjutan tujuan awal Relva.

Yang bikin aku paling kecewa sama jalan cerita novel satu ini adalah, tidak ada satu masalah utama yang benar-benar diselesaikan sampai akhir cerita. Tidak ada klimaks yang terjadi sampai lembar terakhir buku sekalipun. Penulis seolah menjadikan ini sebagai prekuel dari buku satu novelnya dimana prekuel ini tidak memberikan ketegangan atau sebuah perasaan kita harus mencari tahu ceritanya hingga akhir. Apalagi dengan terlalu banyak filler di dalamnya, yang menurutku tidak perlu dilakukan oleh sang tokoh utama. Nightfall yang digembar-gemborkan sejak awal buku juga akhirnya tidak (atau belum) terjadi. Membuatku kecewa sangat dengan jalan ceritanya. Kisah fantasi harusnya bisa lebih bagus dari ini.

Gaya penulisan
Untungnya, walau jalan ceritanya tidak bisa dibilang memuaskan tapi gaya penulisannya bisa dibilang cukup lumayan. Mas Rizky, sang penulis, sudah menuliskan tentang Nightfall dan latar belakang terjadinya sejak awal. Begitu pula tentang setting dunia yang dipakai. Penjelasan mirip narasi ini juga berlanjut di bagian tengah buku ketika dia menjelaskan tentang sejarah sebuah tempat atau suatu ras di cerita ini. Lumayan buat dasar logika n pemikiran pembaca supaya bisa sejalan sama pengarang.Sayangnya, beberapa aspek logika terasa kurang “pas” di novel ini.

Logika mana yang kerasa kurang pas? Oke biar aku sebut satu-satu, biarpun pendapatku sama orang lain bisa jadi beda disini. Yang pertama tentang setting planet dunia Nightfall, Medarda. Medarda disebut sebagai planet terkecil dalam tata surya, dan memiliki dua matahari. Walaupun tidak bisa dibilang Medarda mengorbit kedua matahari itu karena dikatakan bahwa Medarda tidak memiliki revolusi, hanya rotasi saja. Sebuah pertanyaan langsung muncul, bisakah makhluk hidup bertahan pada planet seperti ini? Apa mungkin iklim dan makhluk hidup di dalamnya bisa sama seperti di bumi? Bagaimana dengan penguapan air laut yang bisa jadi dua kali lebih banyak dari di bumi yang menyebabkan curah hujan juga jadi lebih banyak. Kalau sudah begitu berarti kelembaban di planet ini juga beda dengan bumi, dst, dst.

Oke, ini emang bukan novel sci-fi. Tapi factor logika kaya gini kan juga harus dipikirin kalau mau buat setting planet baru. Dan ada lagi masalah logika yang aneh menurutku, yaitu soal perapian. Di sebuah dunia yang tidak pernah ada malam, alias tidak ada satu waktu dalam satu hari dimana temperatur planet dan tempat diatasnya menjadi bertambah dingin, buat apa ada perapian? Kalo mau jadi tempat cahaya, bisa aja pake lilin ato apa. Ga usah susah2 bikin perapian segala.

Sebenernya masih ada lagi logika yang aku permasalahin, kaya gimana ekor kalajengking itu bekerja, tapi kayanya udah cukup ngomong kekurangannya. Sekarang aku mau ngomong soal kelebihannya. Kelebihan yang aku lihat dari novel satu ini adalah plotnya yang, walaupun tidak ada satu masalah besar untuk diselesaikan, tapi terkesan runtut dan jelas. Tidak ada terlalu banyak kebetulan atau plot device seperti yang aku temukan di novel terbitan gagas yang lain. Dari segi plot, lumayan walau ga terlalu bagus juga.

Lalu yang berikutnya adalah kekonsistenan penulis dalam menggunakan rumus “Jangan berhenti kasi masalah ke tokoh utama.” Buat yang ini, aku bisa kasih pujian ke penulisnya. Setiap kali sang tokoh utama berada dalam satu masalah (battle misalnya) sewaktu battle itu selesai bukan berarti masalah yang dihadapi tokoh utama selesai pula. Pengarang memberikan masalah baru yang sifatnya membahayakan nyawa tokoh utamanya sehingga ada sedikit perasaan urgensi yang terjadi. Walau mungkin cara membawakan gregetnya agak kurang sehingga aku juga agak kurang terlalu merasa ketegangannya. Entah kenapa setiap kali penulis menggunakan rumus ini, ada semacam suara dalem kepalaku yang sepertinya berusaha menjauhkan aku dari ketegangan yang dibangun penulis. Which means, mungkin salahku sendiri ga bisa masuk dalam alam buatan penulis. Hehehe

Oya, ada satu masalah kecil yang mau aku omongin soal gaya penulisan in, yaitu tentang kata keluar. Penulis menuliskan kata keluar dengan ke luar, yang menurutku agak aneh karena selama ini aku selalu nulis kata itu sebagai keluar. Masih ga tau sih yang bener yang mana, cuman jadi sedikit kerasa aneh aja waktu baca.

Overall, novel ini bisa dibilang ga begitu bagus, tapi juga ga terlalu jelek banget. Boleh dibaca buat koleksi atau referensi soal rumus “jangan berhenti kasi masalah ke tokoh utama” itu tadi.

Skor: 2,5 / 5

Rabu, 03 September 2008

CARDAN; INSIDE & OUTSIDE THE HINKAL CORE


Sampul
Oke bagian pertama resensi bakal ngebahas soal sampul novel ini. Dari bagian depan sampul novel ini bisa dibilang lumayan keren, gambar siluet burung phoenix berwarna emas dengan tulisan CARDAN berwarna putih diatasnya dan subjudul di bagian bawah, semuanya dengan latar belakang sampul yang hitam. Lumayan keren dan kayaknya bisa jadi salah satu factor penarik orang untuk at least ngelirik novel ini, walau sebenarnya alasan aku beli novel ini bukan gara2 sampulnya tapi gara2 berbagai macam review, yang kebanyakan negatif, yang beredar di internet. Sampul belakangnya berisi sinopsis cerita, diselingi sedikit motif seperti batu di bagian kiri bawah dan gambar sebuah pedang di samping kiri synopsis. Dari sinopsisnya bisa dibaca inti cerita yang sebenarnya lumayan (sangat) klise di genre fiksi fantasi, seorang pria yang tadinya bukan siapa2 (kalo di novel ini kayaknya dipaksain bukan siapa2) tiba2 menjadi seorang pahlawan yang ditakdirkan menyelamatkan dunia. Klise bukan? Untungnya harga bukunya murah, jadi masih bisa dibelain beli buat di review, sekalian mempelajari novel yang diterima masuk dapur redaksi.

Main Story
Setelah sampul, kini ngebahas inti cerita. Seperti dijelaskan oleh sinopsisnya, inti ceritanya sebenarnya sangat klise dan sudah biasa ada dalam genre fiksi fantasi. Bab pertama kelihatannya diawali dengan semacam flashback ke sebuah pertempuran besar sekitar dua puluh tahun sebelum cerita dimulai. Aktor utama disini adalah seorang jendral Tolan yang sampai akhir buku pertama ga disebutin jelas siapa dia (walo sebenernya gampang ditebak juga sih), tapi sayang porsi peran dia cuma dua halaman aja, alias cuma selembar kertas! Hmm…. Kalo emang bagian ini mau dijadiin prolog sih, kayanya nanggung banget.

Oke, lanjut ke bagian utamanya. Cerita dimulai dengan kegiatan normal sang tokoh utama bernama Aras di pagi hari. Dia bangun, dan pergi ke pasar untuk berbelanja. Berikutnya dia pergi ke rumah pamannya untuk mengantarkan pelana kuda. Disini terjadi satu kejanggalan yang aneh dalam cerita, Voco adalah nama paman Aras, itu dijelaskan dalam beberapa paragraf awal setelah prolog usai. Tapi kenapa setelahnya malah dikatakan kalau Voco itu sahabat baik ayah Aras? Hmm, yang mana yang bener nih?

Berikutnya cerita berlanjut sangat cepat. Dipenuhi dengan berbagai macam plot device. Aras tiba2 saja harus pergi ke hutan Dio setelah ia terpilih sebagai Cardan, dimana disana ia akan dididik oleh seseorang untuk menjadi seorang prajurit tempur yang gagah. Yang aneh adalah, bagaimana orang2 dalam kamp pelatihan itu bisa tahu kalau Aras adalah seorang Cardan tanpa sebelumnya melihat ia menyentuh batu elemennya? (aku pake istilah batu elemen disini soalnya diceritanya batu itu mewakilin satu elemen) Padahal ibunya sendiripun harus mendengar cerita dari mulut Aras sendiri sebelum yakin kalau Aras adalah seorang Cardan. Dan juga, salah seorang pelatih disana tahu kalau Aras pernah dilatih pedang oleh Voco tanpa dijelaskan darimana dia tahu itu.
Beberapa plot device yang ada sebenarnya masih bisa dibenarkan karena disertai dengan alasan. Seperti indra keenam Putri Divin yang langsung menyuruhnya bergerak kesana kemari demi memajukan plot. Tapi adakalanya terjadi plot device secara murni, tanpa alasan yang logis di dalam cerita. Selain itu, masalah logika juga menjadi masalah disini. Semisal, Fordit (salah satu tokoh utama) mampu berkonsentrasi untuk mendengarkan suara ditengah hujan pukulan keras dari lawannya; dan juga dia, Aras, Putri Divin, dan Sonia (tokoh utama cewek) mampu menahan nafas di dalam air sampai sekitar sepuluh menit! Gila, lebih jago dari perenang professional! Padahal Divin lagi dalam kondisi pingsan waktu dibawa nyebur dalem air.

Tapi ditengah segala macam kekurangan itu, masih ada satu hal yang aku anggep bagus dari novel ini, yaitu plot twist-nya. Kalo boleh muji, plot twist ini sisi paling baik dalam Cardan. Chandra berhasil bikin aku bilang dalem hati “Hah? Ternyata dia itu begitu?!” bukan cuma sekali, tapi beberapa kali dalam satu malem (karena aku berusaha nyelesein baca cepet2). Walau sayang “efek kejut”-nya ga terlalu terasa karena kalimat narasi yang kurang mengena, tapi udah bagus banget buat kejutan. Terutama di bagian bab2 akhir buku, dimana kejutan semakin bertambah dan hal2 yang aku kira bakal kejadian ternyata ga jadi2 terus, sementara yang ga diduga malah kejadian di novelnya.

Gaya penulisan

Sekarang, soal gaya penulisannya, menurutku gaya penulisan menjadi salah satu kelemahan utama Cardan. Kelemahan besar kalo boleh dibilang.

Gaya penulisannya terasa hambar. Kayaknya itu kalimat paling cocok buat njelasinnya. Si Chandra menjabarkan tentang detail situasi dan penampilan para tokohnya dengan sangat kurang. Aku mengalami kesulitan untuk benar2 bisa masuk ke dalam alam cerita yang dia buat. Alasan teknisnya kalo mau lebih tepat bisa dibilang karena dia kurang memberikan paragraf deskripsi dan narasi yang baik dalam novelnya. Setiap deskripsi tentang setting tempat sepertinya terasa lewat begitu saja, sebelum sempat merasakan keadaan lingkungan yang jelas dari settingnya. Kalo boleh dibilang, cara si Chandra menjabarkan setting dalam novel ini seperti seorang guru menjelaskan kalau 1 + 1 = 2. Memang bener sih, dan aku juga ngerti maksudnya, tapi ga ada emosi atau rasa apa untuk mendekatkan pembaca lebih jauh ke dalam settingnya.

Bukan cuma setting tempat yang seperti itu, tapi penampilan karakter juga. Sering seorang karakter hanya dijelaskan nama atau sedikit perawakannya (gendut, botak, tinggi) tanpa penjelasan yang lebih dalam lagi. Voco salah satu contohnya. Awalnya diceritakan kalau dia seorang veteran perang yang terpaksa harus menggunakan kaki buatan sebagai pengganti kaki asli yang hilang dalam perang. Tapi deskripsi itu langsung hilang dalam ingatan karena tidak dijelaskan bagaimana Voco berjalan dengan kaki itu dalam keseluruhan cerita berikutnya. Atau paling tidak, siapa yang membuatkan kaki buatan itu untuknya. Pendeskripsian tentang tato salah satu tokoh utamapun baru dilakukan di bagian tengah cerita, tanpa sebelumnya memberikan satu pertanda kalau dia memiliki tato. Padahal ternyata tato itu memiliki peran yang penting bagi masa lalu si karakter. Nuansa kejutan yang ingin dibangun oleh sang pengarang melalui penampilan karakterpun menjadi gagal total.

Tapi hal yang paling parah dari paragraf deskripsi dan narasi yang sangat kurang adalah pertarungannya yang membosankan. Jujur, sejak pertama kali disuguhkan adegan pertarungan dalam novel ini (bukan tentang si jendral Tolan itu) aku sudah mulai membayangkan adegan2 pertarungan tidak menegangkan yang akan terjadi disepanjang cerita. Mungkin biar aku jelasin dikit contoh dari bukunya biar yang belum baca bisa ngerti: pertarungan pertama itu terjadi di sebuah kamp pelatihan, dimana petarungnya adalah seorang petarung terbaik kamp pelatihan itu (yang nantinya juga jadi salah satu tokoh utama) dan satu orang lagi entah siapa. Pertarungan itu digambarkan selesai dalam dua paragraf pendek, dimana si petarung terbaik tiba2 berkelit ke bagian belakang lawannya dan menghantam bagian belakang kepalanya. Setelah itu lawannya itu langsung jatuh pingsan. Done. Selesai. Tidak ada rasa imajinasi yang muncul atau adrenalin yang terpompa di dalam kepala sewaktu membaca deskripsi pertarungannya. Dan pertarungan itu dipuji sebagai pertarungan yang hebat oleh si tokoh utama! Kalau yang hebat aja kayak begitu, gimana yang biasa2 aja?

Begitulah. Paragraf deskripsi yang kurang jelas seperti itu terus2an memangkas rasa imajinasi dalam kepala dan justru malah menambah keheranan sewaktu membaca novel ini. Tapi deskripsi bukan satu2nya kelemahan dalam novel ini. Paragraf dialog yang juga minim semakin mengurangi kemampuan pembaca untuk tersedot masuk ke dalam atmosfer cerita dan berkenalan lebih jauh dengan para tokohnya. Banyak sekali kalimat2 deskripsi atau narasi pendek yang sebenarnya bisa dijadikan satu adegan dialog menarik dan bisa memperdalam karakteristik para tokoh. Sudah bisa ditebak, karakterisasi dalam novel inipun menjadi sangat tidak terasa. Bagiku, semua karakter dalam cerita ini sama dalam hal sikap, karakteristik, tingkah laku, cara berjalan, dll. Yang paling berbeda cuma Fordit dan Zelon yang memang digambarkan sebagai karakter sinis dan sombong. Sementara yang lainnya hanya seperti boneka kayu di atas panggung tanpa ekspresi sama sekali. Really disappointing.

Oya, hampir lupa, masalah penamaan kelihatannya juga kurang diseriusi disini. Nama2 karakter sepertinya hanya diberikan sebagai tempelan bagi karakter lain untuk menyebut namanya. Tidak terasa ada aturan baku dalam pemberian nama di dunia Cardan. Orang lain boleh berargumen dengan mengatakan “Apa arti sebuah nama?”, tapi bagi saya nama dan aturan pemberian nama yang diseriusi bisa memberi kesan budaya yang lebih kental dalam dunia Cardan. Malah sebuah nama mungkin bisa jadi penunjuk status seseorang, jika ada sebuah nama yang umumnya hanya dimiliki oleh anggota keluarga kerajaan misalnya. Bukan sekedar sebuah susunan huruf untuk memanggil orang lain saja.

Oya, sedikit intermezzo sebagai penutup, kata Cardan kalau dibolak-balik urutan hurufnya ternyata bisa jadi Candra (nama pengarangnya). Hehehehe. Apa ini cuma kebetulan aja ya?

Skor: 2,5 / 5

Selasa, 02 September 2008

Artikel tentang peta

Guys, baru2 ini aku habis ngirim artikel tentang peta dan kegunaannya di cerita fantasi di sini
http://id.shvoong.com/humanities/1837129-penggunaan-peta-dalam-novel-fantasi/

Buat yang mau baca, langsung kesana aja ya. ^^

Minggu, 31 Agustus 2008

Amulet of Samarkand

Bartimaeus Trilogy; The Amulet of Samarkand

Sampul
Resensi pertama tentang sampul. Maaf sampul tidak bisa ditampilkan disini, karena aku lupa belum meng-upload ke photobicket, tapi desain sampul bisa dibilang cukup keren. Sampul dari novel inilah yang membuat aku tertarik pengen tau lebih banyak soal bukunya sampai akhirnya memutuskan untuk membelinya. Sampul buku ini menggambarkan wajah seorang, atau seekor, jin yang sepertinya adalah Bartimaeus itu sendiri. Di sampulnya digambarkan dia sedang tersenyum licik seolah sedang memikirkan suatu rencana licik yang tidak ada orang yang tahu. Bartimaeus di sampulnya juga tampak memegang sebuah benda seperti kalung dengan rantai emas yang tidak lain adalah Amulet Samarkand yang menjadi fokus cerita disini. Gambar sampul Bartimaeus ini entah diberi efek apa, tapi terasa licin kalau disentuh. Tidak seperti sampul buku lain yang hanya terasa seperti "sampul", meemberikan sampul buku ini kesan rasa istimewa atau eksklusif (at least for me).

Selesai dengan sampul depan, beralih membahas sampul belakang. Di bagian sampul belakang yang biasanya merupakan tempat pengarang memberikan sinopsis singkat cerita hanya diisi satu paragraf panjang dan satu paragraf pendek tentang isi cerita, dua buah kalimat pujian/ endorser, dan gambar patung Gargoyle yang sedang tertidur dibagian atas. Waktu melihat bagian sampul belakang untuk pertama kali, aku merasa sedikit aneh, heran, dan bingung. Sinopsisnya sepertinya terlalu pendek untuk memberi gambaran menyeluruh tentang isi novelnya. Sempat terlintas dalam pikiran "Masa sih ni novel trylogi bagian pertamanya cuma begini doang." Tapi berhubung sudah penasaran, jadi kebeli juga deh buku satu ini. Dengan rasa tidak sabar membuktikan kalimat endorser-nya.


Main story
Oke, aku coba buat ga spoiler disini. Isi buku Bartimaeus ini dibagi menjadi tiga bagian, dengan setiap bagian memiliki fokus masalah yang berbeda-beda. Bagian pertama, yang bisa dibilang bagian perkenalan, menurutku adalah bagian yang paling unik. Karena alur penulisan bagian ini menggunakan teknik maju-mundur. Pada beberapa bab awal bagian ini menceritakan tentang pemanggilan Bartimaeus ke dunia manusia dan bertemu pertama kali dengan Summoner-nya, Nathaniel. Bab ini, dan bab-bab berikutnya yang menggunakan sudut pandang Bartimaeus, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, yang membuat kita sebagai pembaca memahami jalan pikiran seorang jin seperti Bartimaeus kepada manusia. Sedangkan pada bab-bab yang membahas tentang Nathaniel, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Cara penulisan sudut pandang yang berbeda-beda ini akhirnya membuat kita sebagai pembaca tidak merasa kebingungan ketika penulis mengganti sudut pandang pada bab berikutnya. (that, and the fact that he wrote the character's name every time he change POV).

Pada bagian pertama sudut pandang Bartimaeus menceritakan tentang bagaimana ia mencoba mencuri Amulet Samarkand dari tangan Simon Lovelace kepada Nathaniel. Sementara sudut pandang Nathaniel menceritakan tentang bagaimana ia menerima pelajaran tentang sihir dan penyihir dari awal dari beberapa orang guru, dan Master-nya sendiri, Underwood. Sepeti yang sudah aku sebutkan tadi, kita tidak akan kebingungan sama sekali ketika penulis mengganti sudut pandang, sehingga masih bisa mengikuti alur cerita flashback dari semua pelajaran Nathaniel sampai bagian pertama selesai. Termasuk alasannya ingin mencuri Amulet Samarkand.

Mulai dari bagian kedua sampai akhir buku, alur cerita maju-mundur sudah ditinggalkan oleh pengarang. Kini Nathaniel dan Bartimaeus menjalani kisahnya pada waktu yang sama. Inti cerita bagian kedua adalah bagaimana Nathaniel berusaha keras menyembunyikan Amulet Samarkand dari mata Lovelace yang menginginkannya kembali dan juga merahasiakan pencurian yang dilakukannya dari sepengetahuan Master-nya. Keadaan Bartimaeus juga tidak bisa dibilang membaik karena Nathaniel tidak juga mengirimkannya kembali ke Dunia Lain, yang berarti dia juga harus ikut bersembunyi dari semua mata yang mencari Amulet. Bagian kedua diakhiri dengan situasi pertarungan menegangkan antara Bartimaeus dengan "kawan lama"-nya dan adanya pengkhianatan yang tidak diduga Nathaniel.

Bagian ketiga. Hmm... bingung rasanya bagaimana menceritakan bagian ini tanpa spoiler. Yang jelas, setelah akhir bagian kedua, awal bagian ketiga ini terasa ada antiklimaks, atau penurunan ketegangan. Alur bagian ketiga ini dibuat sedikit lebih lambat dibanding bagian kedua hingga akhirnya perebutan Amulet kembali terjadi. Dan tentunya, akhir sebuah novel fantasy seperti ini tidak akan terasa lengkap tanpa pertarungan habis-habisan. Dan pertarungan di akhir buku ini bisa dibilang mampu memuaskan rasa penasaran dan ketegangan yang sudah dibangun sebelumnya. Bisa dibilang akhir ceritanya merupakan akhir cerita yang perfect sekali.


Gaya penulisan
Oke, setelah membahas isi cerita, yang aku harap nggak spoiler, waktunya membahas gaya penulisan yang digunakan oleh Jonathan Stroudd di buku ini. Seperti yang sudah aku sebut sebelumnya, penulis menggunakan sudut pandang yang berbeda untuk Bartimaeus dan Nathaniel. Tapi, selain itu kita juga bisa melihat kepribadian dari kedua tokoh utama, dan banyak tokoh oembantu lainnya, dalam setiap deskripsi buku ini. Mulai dari Bartimaeus yang kasar tapi terkadang terdengar lucu, Nathaniel yang penuh ambisi, Mr. Underwood yang kolot, dan banyak lagi kepribadian tiap tokoh digambarkan dengan jelas dan konsisten dibuku ini.

Satu lagi yang unik adalah dari sudut pandang Bartimaeus. Disini, selain deskripsi dari sudut pandang pertama, pengarang juga menambahkan catatan kaki untuk memperjelas maksud ucapan Bartimaeus, atau Bartimaeus sendiri yang berbicara menceritakan masa lalunya atau terkadang terdengar meledek. Cara penulisan catatan kaki dibuku fantasy baru aku temui dibuku ini dan cara ini bisa menjadi cara untuk melengkapi deskripsi yang mungkin akan merasa canggung atau aneh jika dipaksakan ditulis dalam deskripsinya. Sudut pandang Nathaniel tidak menggunakan catatan kaki seperti ini, tapi karena dia menggunakan sudut pandang orang ketiga, deskripsinya bisa lebih lengkap dari Bartimaeus.

Hampir lupa, cara Jonathan Stroudd membawa kita melewati setiap bab-nya terasa menarik sekali. Alur ceritanya mengalir dengan lancar sehingga tidak ada rasa seperti alur sebuah bab ada yang dipaksakan. Semuanya terjadi seolah-olah jika kita yang menjadi salah satu karakternya, maka kita juga akan melakukan hal yang sama. Aku juga suka cara Stroudd mengakhiri setiap bab-nya. Sama seperti Harry Potter, setiap bab diakhiri dengan suatu klimaks yang membuat kita ingin membaca bab berikutnya dan mencari tahu apa yang terjadi. Menarik sekali!


Penerjemahan
Oke, karena ini adalah buku terjemahan tentu aku juga harus kasih komentar soal terjemahannya juga dong. Terjemahan dalam buku ini bisa dibilang SEMPURNA, dan aku bilang begitu bukan cuma buat membesar-besarkan. Terjemahan dalam buku ini mungkin yang terbaik yang pernah aku baca di novel fantasy, kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris diterjemahkan dalam kalimat meledek yang mengena maksudnya (untuk sudut pandang Bartimaeus) dan juga kata-kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia dibiarkan seperti apa adanya dalam bahsa Inggris! Jauh lebih baik dari terjemahan Harry Potter yang menerjemahkan Cleansweep jadi Sapubersih. Kalimat-kalimat ini biasanya ditulis dalam huruf italic, tapi jika digunakan dalam percakapan, seperti kata "Master", ditulis dengan huruf biasa. Bisa dibilang aku enjoy banget baca bukunya tanpa ada rasa canggung membaca kalimat terjemahan yang dipaksakan jadi bahasa Indonesia.


Overall
Hehe, apalagi yang mau dikomentari? Secara keseluruhan buku pertama dari trilogy ini bener-bener keren banget! Buat yang belum baca. Mending cepetan ke Gramed buat beli nih buku.
Oya, skornya 5/5 (Sempurna!!)

Silahkan melihat lihat

Oke, pertama-tama selamat datang ke tempat penuh rak buku. Blog khusus yang akan diisi dengan segala hal tentang novel dan cara penulisannya (berhubung yg buat juga suka bikin novel. hehe)
Awalnya, blog ini bakal diisi sama resensi dulu, baru ditambah sama yg lain2.

Enjoy