Rabu, 15 Oktober 2008

Nightfall; The Element Location

NIGHTFALL; THE ELEMENT LOCATION


Sampul
Sampul Nightfall, entah kenapa, sepertinya tidak terlalu menggambarkan isinya dengan tepat. Pada gambar sampul kita bisa melihat seorang ksatria berkuda sedang mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi ke angkasa. Di belakangnya terlihat gambar barisan pegunungan yang sangat panjang di bawah langit berwarna hijau terang. Entah kenapa berwarna hijau, mungkin akibat dua matahari yang menyinari planet yang menjadi setting cerita Nightfall ini. Di atas langit kita bisa melihat warna gelap yang menutupi sekitar tiga per empat halaman sampul buku dengan beberapa siluet planet di atasnya, seolah ingin menonjolkan gambar luar angkasa walau tidak ada petualangan ke luar angkasa di sini. Di bagian kiri atas juga terdapat lambing fantasylit ciptaan Gagas yang, entah kenapa, tidak ada di Cardan. Di bagian paling bawah sekali, di bawah kaki kuda, tercetak dengan huruf besar judul novel ini, berikut dengan sub-judulnya. Walau waktu pertama kali membaca juga masih belum jelas apa maksud sub-judul “The Element Location” itu.

Di sampul belakang terdapat gambar lanjutan barisan pegunungan dari halaman muka, dan warna gelap yang masih menutupi sekitar tiga per empat halaman. Di bagian gelap itu diisi dengan sinopsis dari novel ini, yang menurutku cukup kreatif cara menulisnya, karena ditulis dalam lingkaran cahaya serupa halo. Jadi semakin terasa kalo novel ini menceritakan tentang luar angkasa (walau sebenarnya tidak demikian). Sinopsis ceritanya juga tidak terlalu klise, instead cerita seorang pemain pedang menyelamatkan dunia, awal dari cerita ini justru tentang petualangan seorang teman Putri Kerajaan untuk mencari sang Putri yang melarikan diri. Walau akhir-akhirnya sang teman ini juga harus menyelamatkan dunia juga.

Overall halaman sampul ini aku nilai kurang sempurna, karena warnanya yang terlalu gelap dan hampir tidak ada hubungannya dengan isi cerita di dalamnya. Yang menonjol di sampulnya adalah tulisan judulnya yang bikin aku tertarik beli bukan karena judulnya keren, tapi udah sering denger slentingan kalo ini judul salah satu fiksi fantasi dari Indonesia. Dan aku penasaran juga sama perkembangan genre fiksi fantasi di Indonesia ini, makanya novel satu ini aku beli. Walaupun aku nemunya kebetulan di toko buku kecil waktu mudik kemarin.

Main story
Oke, ide awal ceritanya boleh jadi tidak klise, tapi bagaimana eksekusinya dalam novel? Jujur aja, aku agak kecewa sama tokoh utama novel ini, si Relva. Dia keliatan ga focus sama sekali sama tugas yang dikasih sang Raja ke dia buat nyelametin sang Putri yang notabene juga temennya sendiri. Kisah diawali dengan kepulangan sang Relva dari Gazzo, nama kota yang terletak di sebelah selatan Bestonia, Ibukota kerajaan. Dimana dia bertemu dengan teman lama yang ga pernah disebut lagi dalam cerita. Cerita berlanjut hingga Relva bertemu dengan sang ibu, Raja, diberi perintah oleh Raja, dan pergi lagi meninggalkan Bestonia. Diakhir awal ini juga ada sepenggal kisah tentang ayah Relva yang menurutku ga penting disebut sekarang, karena sampai akhir buku juga ga disebut apa-apa lagi tentang ayah Relva ini. Membuat kesan misteri yang dicoba ditimbulkan disini menjadi sia-sia saja.

Tanpa banyak kata, pencarian Relva akan Nairne, sang Putri Mahkota, dimulai. Dan seperti kisah fantasi apapun didunia, sang pahlawan selalu dihalangi dalam mencapai tujuannya. Halangan pertama baginya adalah sekelompok bandit, beranggota lima orang, yang menguasai seluruh hutan yang menjadi jalur perjalanannya. Disini saja sudah ada permasalahan logika yang terasa. Dilihat dari peta di halaman depan buku ini, hutan Woohurin yang akan dilewati oleh Relva sangat luas, sampai menutupi jalan lewat satu benua. Dan area seluas itu kok bisa-bisanya dikuasai cuma dengan lima orang?? Sudah begitu, untuk memberantasnya sampai harus memanggil mercenary segala. Kenapa tidak minta pasukan Kerajaan untuk datang dan menghabisi kelompok penculik itu? Habis perkara. Tidak perlu repot-repot membawa si tokoh utama melewati kisah filler yang tidak perlu.

Kisah filler? Ya, cerita ini banyak sekali diisi dengan kisah-kisah petualangan atau pertempuran sang tokoh utama melawan monster-monster yang menurutku tidak perlu. Saking banyaknya lama kelamaan misi awal mencari dan membawa Nairne pulang jadi tidak terasa lagi urgensinya dan sang tokoh utama jadi seperti berjalan-jalan semaunya (atau semau teman-teman barunya). Pokoknya, perjalanan si tokoh utama jadi tidak focus, sampai akhirnya di pertengahan cerita, sekitar halaman 150, baru disebut tentang Fire Location yang berhubungan dengan legenda Nightfall yang juga menjelaskan maksud sub-judul di cover depan. Waktu ini juga aku teriak dalam hati “Yes! Akhirnya nyebut konflik utama juga!” Sayangnya yang dijelaskan masih sedikit sekali dan beberapa puluh halaman setelahnya pun masih tidak ada kejelasan sama sekali tentang misi awal si Relva. Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, sampai akhir buku sekalipun tujuan awal perjalanan Relva masih belum ada kemajuan sama sekali. Memang ada satu bab khusus yang membahas tentang Nairne, tapi sama sekali tidak cukup untuk kelanjutan tujuan awal Relva.

Yang bikin aku paling kecewa sama jalan cerita novel satu ini adalah, tidak ada satu masalah utama yang benar-benar diselesaikan sampai akhir cerita. Tidak ada klimaks yang terjadi sampai lembar terakhir buku sekalipun. Penulis seolah menjadikan ini sebagai prekuel dari buku satu novelnya dimana prekuel ini tidak memberikan ketegangan atau sebuah perasaan kita harus mencari tahu ceritanya hingga akhir. Apalagi dengan terlalu banyak filler di dalamnya, yang menurutku tidak perlu dilakukan oleh sang tokoh utama. Nightfall yang digembar-gemborkan sejak awal buku juga akhirnya tidak (atau belum) terjadi. Membuatku kecewa sangat dengan jalan ceritanya. Kisah fantasi harusnya bisa lebih bagus dari ini.

Gaya penulisan
Untungnya, walau jalan ceritanya tidak bisa dibilang memuaskan tapi gaya penulisannya bisa dibilang cukup lumayan. Mas Rizky, sang penulis, sudah menuliskan tentang Nightfall dan latar belakang terjadinya sejak awal. Begitu pula tentang setting dunia yang dipakai. Penjelasan mirip narasi ini juga berlanjut di bagian tengah buku ketika dia menjelaskan tentang sejarah sebuah tempat atau suatu ras di cerita ini. Lumayan buat dasar logika n pemikiran pembaca supaya bisa sejalan sama pengarang.Sayangnya, beberapa aspek logika terasa kurang “pas” di novel ini.

Logika mana yang kerasa kurang pas? Oke biar aku sebut satu-satu, biarpun pendapatku sama orang lain bisa jadi beda disini. Yang pertama tentang setting planet dunia Nightfall, Medarda. Medarda disebut sebagai planet terkecil dalam tata surya, dan memiliki dua matahari. Walaupun tidak bisa dibilang Medarda mengorbit kedua matahari itu karena dikatakan bahwa Medarda tidak memiliki revolusi, hanya rotasi saja. Sebuah pertanyaan langsung muncul, bisakah makhluk hidup bertahan pada planet seperti ini? Apa mungkin iklim dan makhluk hidup di dalamnya bisa sama seperti di bumi? Bagaimana dengan penguapan air laut yang bisa jadi dua kali lebih banyak dari di bumi yang menyebabkan curah hujan juga jadi lebih banyak. Kalau sudah begitu berarti kelembaban di planet ini juga beda dengan bumi, dst, dst.

Oke, ini emang bukan novel sci-fi. Tapi factor logika kaya gini kan juga harus dipikirin kalau mau buat setting planet baru. Dan ada lagi masalah logika yang aneh menurutku, yaitu soal perapian. Di sebuah dunia yang tidak pernah ada malam, alias tidak ada satu waktu dalam satu hari dimana temperatur planet dan tempat diatasnya menjadi bertambah dingin, buat apa ada perapian? Kalo mau jadi tempat cahaya, bisa aja pake lilin ato apa. Ga usah susah2 bikin perapian segala.

Sebenernya masih ada lagi logika yang aku permasalahin, kaya gimana ekor kalajengking itu bekerja, tapi kayanya udah cukup ngomong kekurangannya. Sekarang aku mau ngomong soal kelebihannya. Kelebihan yang aku lihat dari novel satu ini adalah plotnya yang, walaupun tidak ada satu masalah besar untuk diselesaikan, tapi terkesan runtut dan jelas. Tidak ada terlalu banyak kebetulan atau plot device seperti yang aku temukan di novel terbitan gagas yang lain. Dari segi plot, lumayan walau ga terlalu bagus juga.

Lalu yang berikutnya adalah kekonsistenan penulis dalam menggunakan rumus “Jangan berhenti kasi masalah ke tokoh utama.” Buat yang ini, aku bisa kasih pujian ke penulisnya. Setiap kali sang tokoh utama berada dalam satu masalah (battle misalnya) sewaktu battle itu selesai bukan berarti masalah yang dihadapi tokoh utama selesai pula. Pengarang memberikan masalah baru yang sifatnya membahayakan nyawa tokoh utamanya sehingga ada sedikit perasaan urgensi yang terjadi. Walau mungkin cara membawakan gregetnya agak kurang sehingga aku juga agak kurang terlalu merasa ketegangannya. Entah kenapa setiap kali penulis menggunakan rumus ini, ada semacam suara dalem kepalaku yang sepertinya berusaha menjauhkan aku dari ketegangan yang dibangun penulis. Which means, mungkin salahku sendiri ga bisa masuk dalam alam buatan penulis. Hehehe

Oya, ada satu masalah kecil yang mau aku omongin soal gaya penulisan in, yaitu tentang kata keluar. Penulis menuliskan kata keluar dengan ke luar, yang menurutku agak aneh karena selama ini aku selalu nulis kata itu sebagai keluar. Masih ga tau sih yang bener yang mana, cuman jadi sedikit kerasa aneh aja waktu baca.

Overall, novel ini bisa dibilang ga begitu bagus, tapi juga ga terlalu jelek banget. Boleh dibaca buat koleksi atau referensi soal rumus “jangan berhenti kasi masalah ke tokoh utama” itu tadi.

Skor: 2,5 / 5

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Okay, I'll go first.

Gw sampai detik ini masih aja jadi seorang penulis resensi yg gak kompeten, itu sebabnya gw rasa resensi yg ditulis di sini udah termasuk apik, rapi dan teliti banget. :D

Soal kata "keluar" versus kata "ke luar", sbnrnya itu kyk beda pemakaian kalo sepanjang pengalaman gw. Misalnya:

"Dia pergi ke luar kamar beberapa saat lalu."

"Dia keluar kamar beberapa saat lalu."

Kalo dari contoh kalimat di atas, kerasa beda kan antara "keluar" dengan "ke luar"? Kalo gw yg disuruh merasakan bedanya, gw akan bilang "keluar" itu cenderung ke kata kerja (entah pasif entah aktif) sementara "ke luar" lebih menunjuk ke lokasi atau arah.

Soal dua matahari, mgkn gak sih kalo mataharinya gak gede2 amat jadi gak segitu panas? :D Tapi gw tetep bingung bakal gimana lagi revolusinya, jgn2 malah gak berevolusi krn sama2 ketarik dan jadi statis. Gawat dong yah.

Hehe.

dejongstebroer mengatakan...

Betul.

Kata 'keluar' (bhs Inggrisnya : exit) adalah kata kerja (verb) yg lawan katanya 'masuk' (enter) sementara itu 'ke luar' (outside) adalah kata keterangan (adverb) yg lawan katanya 'ke dalam' (inside)