Senin, 27 Oktober 2008

Fireheart

FIREHEART; LEGENDA PALADIN; SANG PEMBURU


Sampul

Sampul dari buku satu ini bisa dibilang lumayan menarik perhatian; gambar seorang ksatria berambut merah dengan jubah yang hampir sama merahnya menutupi sebagian besar sampul depan novel ini. Kesan pertama dari melihat novelnya adalah “Dia ini pasti tokoh utamanya.” ga salah sih, walau dia yang ada di sampul novel ini bukan tokoh utama, tapi salah satu anggota kelompok tokoh utama. Di bagian atas sampul terdapat judul novel ini yang diberi efek timbul yang keren, berikut kedua sub judulnya. Ya, novel ini memang cuku unik dibandingkan novel lain yang pernah kubaca karena punya dua sub judul itu. Mungkin selain trilogi pengarangnya berencana membuat lebih banyak serial Fireheart.

Ada satu yang hampir luput dari perhatian waktu pertama kali melihat sampul Fireheart. Di bagian backgroundnya terdapat gambar sebuah menara atau istana yang sebagian besar tertutup oleh tubuh sang ksatria. Seolah ingin menunjukkan setting dari cerita. Pretty interesting. Bagian bawah dari sampul depan diisi dengan lambing penerbit Sheila. Sementara bagian belakang sampulnya berisi sinopsis dari novel ini. Berisi cuplikan dari adegan berbahaya yang dihadapi tokoh utama dan tujuan utama sang tokoh utama yang, tentu saja, harus menyelamatkan dunia dari ancaman bangkitnya kembali penguasa kegelapan.

Main Story

Cerita dari novel ini diawali dengan sedikit penjelasan mengenai dunia dan kerajaan yang menjadi setting cerita. Ditambah juga dengan sedikit penjelasan tentang pemburu dan guild mereka. Cukup ngasih gambaran tentang arti sub judul dan pekerjaan sang tokoh utama. Cerita lalu berlanjut tentang tugas yang diterima sang tokoh utama, yang bernama Robert, untuk membantai Orc dan pasukan kobold-nya. Seperti tipikal cerita seperti ini, sang tokoh utama awalnya berpetualang sendirian, apapun alasannya. Singkat kata, Robert akhirnya sampai di gua markas Orc dan pertarungannya dimulai. Aku sempet nemu beberapa masalah dalam logika di adegan bertarungnya ini.

Yang pertama, Kobold digambarkan sebagai makhluk setengah manusia setengah anjing, tapi waktu pasukan Kobold itu nyari Robert di dalam gua kok kayanya susah banget nyarinya. Kenapa ga pake penciuman anjingnya aja? Robert ga akan bisa sembunyi dari pasukan Kobold itu mau gelapnya gua kaya gimana juga. Berikutnya waktu si Kobold nggigit dada Robert, aku agak susah mbayanginnya. Gimana caranya rahang anjing bisa kebuka cukup lebar buat nggigit rompi Robert sampe sobek gitu? Kalo yang kegigit bagian lengan ato bahu aku masih bisa mbayanginnya. Bagian akhir pertarungannya juga kayaknya dibikin berakhir begitu saja. Robert menebaskan pedangnya untuk membuat satu jurus yang membelah tubuh Kobold menjadi dua bagian. Nah, kalo punya jurus hebat kaya gini kenapa ga dipake dari tadi?? Lebih gampang nyerang dari jauh daripada harus deket-deket sama musuh yang bikin dia luka parah sampe pingsan gitu.

Kemudian cerita dilanjutkan dengan adegan flashback si Robert ke suatu masa di waktu kecilnya. Sewaktu sepasukan Orc tanpa sebab yang jelas membumihanguskan desa kesayangannya. Ini pendapat pribadi dan orang lain bisa jadi punya pendapat yang beda, tapi menurutku cerita masa lalunya Robert ini terlalu panjang. Terlalu mudah ditebak. Dan sekaligus menghilangkan potensi greget dan pertanyaan yang bisa saja timbul di benak pembaca nanti kalau kisah masa lalu ini ditiadakan. Selama aku membaca dua bab khusus tentang masa lalu Robert ini yang ada dikepalaku cuma “Cepetan balik ke story utama dong!!” kisah dalam flashback-nya ini juga terasa lurus-lurus saja, akhirnya sudah bisa ditebak dari sinopsis di belakang buku.

Oke, kisah masa lalu akhirnya selesai dan perjalanan Robert akhirnya dimulai lagi. Dia mulai mendapatkan rekan-rekan baru dalam perjalannya dan berkeliling dunia semakin jauh dari kota asalnya. Seperti genre sejenis, Robert akhirnya berhadapan dengan monster-monster berwujud mengerikan, bertemu dengan karakter baru, dan terus bertualang mencari pekerjaan. Sampai dia bertemu dengan seorang kurcaci yang ternyata masih punya hubungan dengan salah satu rekan barunya. Robert menemani kurcaci itu kembali ke gunung tempat tinggalnya, hingga akhirnya Robert dituduh mencuri benda penting bagi kurcaci dan bahkan hampir dibunuh! Tapi untungnya, dia bisa selamat dari hukuman pembunuhannya itu.

Ada satu keanehan lagi yang aku temuin disini sih, yaitu masalah tempat tinggal kurcaci. Kenapa Bapa Andreas, kurcaci yang ditolong Robert, tinggalnya malah di gubuk bukan di gua? Aku ngerti sih kalo dia diasingkan sama kurcaci yang lain sampe tempat tinggalnya terpencil gitu, tapi apa dia ga bisa bangun gua baru di lembah itu buat tempat tinggalnya? Sori kalo pertanyaan ga penting, cuman bayanganku selama ini kurcaci itu tinggal dan tidur di gua, bukan di gubuk kayu.

Setelah dari gunung kurcaci, cerita lalu di-skip sampai Robert menerima sebuah surat undangan untuk melindungi sebuah pedang iblis. Pedang yang dikhawatirkan akan diambil kembali oleh sang pewaris kegelapan. Tidak cuma Robert, tapi puluhan, atau mungkin ratusan pendekar lain juga menerima surat serupa.

Setelah ini cerita secara mendadak menjadi penuh dengan karakter dan adegan action. Sampai bingung nama ini buat karakter yang mana. Apalagi ada dua orang yang punya gelar kaya bangsawan gitu. Selain para tokoh utama, yang kadang di narasi dijelasin pake istilah “pahlawan”, ada banyak sekali karakter lain yang berada disini untuk membantu para pahlawan. Sekaligus juga sebagai korban yang mati dalam perjuangannya. Ada kelemahan lain di bagian cerita ini selain masalah nama yang suka ketuker-tuker itu (masalah pribadi. Mungkin pembaca lain malah ga kerasa), yaitu saking banyaknya karakter yang ada disini, di tengah deskripsi bisa tiba-tiba ada satu jenis makhluk baru yang tadinya tidak diberitahukan kedatangannya. Ras seperti mausia kambing, tikus, atau kadal juga melengkapi daftar para pahlawan penjaga pedang iblis.

Dan, ngomong-ngomong soal kadal, logika soal manusia kadal itu juga agak aneh buat aku. Manusia kadal disini dideskripsikan sebagai makhluk berdarah dingin (dalam arti sebenarnya) yang menyukai tempat dingin! Which is weird, karena makhluk berdarah dingin seperti itu harusnya malah lebih suka tempat panas buat menghangatkan tubuhnya. Kalo nongkrong di tempat dingin bukannya malah jadi mati beku tuh kadal??

Cara para pahlawan melindungi pedang sihir juga aku masih agak ga ngerti. Buat ngelindungi pedang sihir Kraal’ shazaar dari sesuatu yang beredar melalui desas-desus, para pahlawan justru melewati semua penghalang dan jebakan yang disiapkan untuk melindungi pedang iblis sampai masuk jauh ke dalam. Kesannya kaya mereka sengaja buka jalan, ngancurin semua penjaga, lalu dengan pedenya berdiri di depan penghalang terakhir untuk menghabisi sang pewaris, setelah membuka jalan lebar untuknya berjalan santai dari pintu masuk kuil sampai halangan terakhir. Padahal lebih gampang, lebih simple, dan ga makan banyak nyawa kalo mereka semua bikin pasukan besar di depan kuil tempat pedang disegel sambil nunggu sang pewaris datang buat akhirnya dikeroyok rame-rame. Ga usah susah-susah ngalahin semua penjaga disana.

Setelah sang pewaris dikalahkan, sempet ada suasana tegang yang dibangun waktu Robert, dkk ketinggalan kapal. Tapi habis gitu jadi ilang begitu aja. Coba ditampilin adegan berantemnya. Ato dikasi satu plot twist di bagian itu. Pasti jadi lebih bagus.

Gaya Penulisan

Alright, sekarang membahas gaya penulisannya. Satu yang mesti aku bahas lebih dulu adalah format dari penempatan paragraf dan dialog dalam novel ini. Setiap paragraf dalam buku ini tidak ditempatkan secara penuh dari atas sampai bawah halaman, tapi ada jeda bagian putih yang keliatannya lebar banget dan sempet bikin aku ngerasa agak asing waktu awal-awal baca. Gara-garanya ini novel pertama yang aku baca yang pake penempatan paragraf kaya gitu. Penempatan dialog juga kayanya lebar banget antara paragraf diatas sama bawahnya. Ga terlalu mengganggu sih, cuman kerasa agak asing aja.

Dan, bagian berikut dari reviewanku ini mungkin bakal bikin banyak orang ngamuk (terutama yang suka sama novel ini), tapi kalo boleh jujur aku butuh perjuangan berat buat nylesein baca novelnya. Satu-satunya bagian yang membuatku tertarik adalah adegan berantemnya, dan pas adegan lagi “damai-damainya” aku malah ga bisa ngenikmatin. Malah cenderung kerasa bosen. Sempet beberapa kali aku punya pikiran buat put down this book and read something else, tapi tiap kali aku punya pikiran kaya gitu langsung ada suara dalem kepala yang bilang “Liat tuh! Om Pur aja udah bikin resensinya Fireheart. Masa kamu ga bisa?” Dan dengan semangat ingin membuat resensi yang baik buat novel ini, aku teruskan membaca sambil mencari sebab kenapa aku ga bisa ngenikmati baca novelnya.

Setelah perjuangan panjang membaca dan menganalisa, akhirnya aku nemu alasannya kenapa aku ga bisa enjoy baca novel ini. Dalam novel ini, aku ga ngerasa lagi ada di sebuah dunia fantasi dan melihat aksi petualangan para tokohnya. Aku juga ga ngerasa lagi ada dalam alam pikiran sang tokoh kalo misalnya tokoh itu lagi berpikir. Aku malah ngerasa kaya lagi diceritain kisah perjuangan Robert, dkk oleh orang lain yang sudah melihat petualangan mereka.
Mungkin kurang jelas kalo aku cuman ngomong gitu aja. Ini coba aku kasih contoh beberapa kalimat yang buat aku susah buat masuk kedalam alam fantasinya:

Dengan keras kepala, Eloise menendang tanah dan berjalan galau ke dalam istana. Sambil berjalan, ia melihat Robert sedang mengamatinya dengan tatapan acuh tanpa ekspresi.

Eloise berpikir,

Tampang anak ini muram sekali! Tapi, dia menarik juga. Hmm, mungkin…

Robert pun berpikir,

Dasar anak manja! Aku pasti dapat kesulitan kalau berda di dekatnya!

Lalu, pelayan istana yang memandu Robert tadi muncul dan memberi peringatan pada Robert.


Nah, itu bagian dialognya. Benernya ada beberapa dialog lain, tapi satu ini udah cukup buat jadi contoh. Dari kalimat diatas, bagian Eloise berpikir dan Robert berpikir itu yang bikin aku ga bisa masuk dalem alam pikiran mereka. Aku tidak “merasakan” kalau mereka itu berpikir, tapi “diberitahu” kalo mereka itu lagi berpikir. Begitu juga ketika karakter merasa tegang, atau tertawa. Aku hanya diberitahu perasaan mereka tanpa bisa ikut merasakannya.

Mungkin karena itu juga aku jadi ngerasa bosen sangat sewaktu adegan udah keluar dari battle dan masuk masa tenang sesaat. Selain itu, tidak ada pertanyaan atau ketegangan yang dibangun yang bisa memaksa pembaca untuk terus membaca (at least for me). Untuk sisi Robert, bagian ini sudah tidak mungkin bisa timbul karena segala pertanyaan tentang masa lalu Robert sudah dijelaskan habis-habisan dalam dua bab flashback diawal-awal.

Selain itu, novel ini juga diisi penuh sama berbagai macam jurus yang dikeluarkan karakternya. Sayangnya kebanyakan jurus hanya dijelaskan berupa nama, tanpa deskripsi bagaimana gerakannya. Berbeda dengan jurus sihirnya yang diberi penjelasan tentang bentuk sihirnya. Selain itu pengarang, Andry Chang, juga sering sekali mengulang berbagai macam nama yang dibuatnya. Mulai dari nama kuda, sampai ke nama senjata. Awalnya memang bagus kalau tahu senjata itu punya nama, berarti bukan senjata sembarangan. Tapi kalau terlalu banyak jadi membosankan juga. Apalagi pengulangan itu bisa terjadi di adegan battle yang seharusnya dibuat ber-pace cepat dan menekankan adegan battle-nya sendiri.

Lalu, apa ga ada sisi baik dari novel ini? Ga juga. Selain kesalahan yang udah aku sebut diatas, sisi positif dari novel ini adalah kepribadian para karakter yang terasa jelas dan berbeda satu sama lain. Kita bisa dengan sekejap tahu sifat dan kepribadian khusus tiap karakter bahkan waktu karakter tiba-tiba menjadi bejibun banyaknya. Mulai dari Christoper yang ceroboh dan serakah; Bapa Andreas yang bertugas sebagai penenang dalam tim Robert; Kedua karakter bergelar bangsawan dan pemimpin elf yang ketiganya jelas banget pengen jadi pemimpin dalam kelompok besar para pejuang; Juga ada Tina, cewek penyihir yang jauh lebih dingin dan pendiam daripada Robert; Dan sebagainya. Overall, novel ini benernya worth reading, kalo aja aku ga gampang bosen ditengah-tengahnya .

Skor: 2/ 5

Rabu, 15 Oktober 2008

Nightfall; The Element Location

NIGHTFALL; THE ELEMENT LOCATION


Sampul
Sampul Nightfall, entah kenapa, sepertinya tidak terlalu menggambarkan isinya dengan tepat. Pada gambar sampul kita bisa melihat seorang ksatria berkuda sedang mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi ke angkasa. Di belakangnya terlihat gambar barisan pegunungan yang sangat panjang di bawah langit berwarna hijau terang. Entah kenapa berwarna hijau, mungkin akibat dua matahari yang menyinari planet yang menjadi setting cerita Nightfall ini. Di atas langit kita bisa melihat warna gelap yang menutupi sekitar tiga per empat halaman sampul buku dengan beberapa siluet planet di atasnya, seolah ingin menonjolkan gambar luar angkasa walau tidak ada petualangan ke luar angkasa di sini. Di bagian kiri atas juga terdapat lambing fantasylit ciptaan Gagas yang, entah kenapa, tidak ada di Cardan. Di bagian paling bawah sekali, di bawah kaki kuda, tercetak dengan huruf besar judul novel ini, berikut dengan sub-judulnya. Walau waktu pertama kali membaca juga masih belum jelas apa maksud sub-judul “The Element Location” itu.

Di sampul belakang terdapat gambar lanjutan barisan pegunungan dari halaman muka, dan warna gelap yang masih menutupi sekitar tiga per empat halaman. Di bagian gelap itu diisi dengan sinopsis dari novel ini, yang menurutku cukup kreatif cara menulisnya, karena ditulis dalam lingkaran cahaya serupa halo. Jadi semakin terasa kalo novel ini menceritakan tentang luar angkasa (walau sebenarnya tidak demikian). Sinopsis ceritanya juga tidak terlalu klise, instead cerita seorang pemain pedang menyelamatkan dunia, awal dari cerita ini justru tentang petualangan seorang teman Putri Kerajaan untuk mencari sang Putri yang melarikan diri. Walau akhir-akhirnya sang teman ini juga harus menyelamatkan dunia juga.

Overall halaman sampul ini aku nilai kurang sempurna, karena warnanya yang terlalu gelap dan hampir tidak ada hubungannya dengan isi cerita di dalamnya. Yang menonjol di sampulnya adalah tulisan judulnya yang bikin aku tertarik beli bukan karena judulnya keren, tapi udah sering denger slentingan kalo ini judul salah satu fiksi fantasi dari Indonesia. Dan aku penasaran juga sama perkembangan genre fiksi fantasi di Indonesia ini, makanya novel satu ini aku beli. Walaupun aku nemunya kebetulan di toko buku kecil waktu mudik kemarin.

Main story
Oke, ide awal ceritanya boleh jadi tidak klise, tapi bagaimana eksekusinya dalam novel? Jujur aja, aku agak kecewa sama tokoh utama novel ini, si Relva. Dia keliatan ga focus sama sekali sama tugas yang dikasih sang Raja ke dia buat nyelametin sang Putri yang notabene juga temennya sendiri. Kisah diawali dengan kepulangan sang Relva dari Gazzo, nama kota yang terletak di sebelah selatan Bestonia, Ibukota kerajaan. Dimana dia bertemu dengan teman lama yang ga pernah disebut lagi dalam cerita. Cerita berlanjut hingga Relva bertemu dengan sang ibu, Raja, diberi perintah oleh Raja, dan pergi lagi meninggalkan Bestonia. Diakhir awal ini juga ada sepenggal kisah tentang ayah Relva yang menurutku ga penting disebut sekarang, karena sampai akhir buku juga ga disebut apa-apa lagi tentang ayah Relva ini. Membuat kesan misteri yang dicoba ditimbulkan disini menjadi sia-sia saja.

Tanpa banyak kata, pencarian Relva akan Nairne, sang Putri Mahkota, dimulai. Dan seperti kisah fantasi apapun didunia, sang pahlawan selalu dihalangi dalam mencapai tujuannya. Halangan pertama baginya adalah sekelompok bandit, beranggota lima orang, yang menguasai seluruh hutan yang menjadi jalur perjalanannya. Disini saja sudah ada permasalahan logika yang terasa. Dilihat dari peta di halaman depan buku ini, hutan Woohurin yang akan dilewati oleh Relva sangat luas, sampai menutupi jalan lewat satu benua. Dan area seluas itu kok bisa-bisanya dikuasai cuma dengan lima orang?? Sudah begitu, untuk memberantasnya sampai harus memanggil mercenary segala. Kenapa tidak minta pasukan Kerajaan untuk datang dan menghabisi kelompok penculik itu? Habis perkara. Tidak perlu repot-repot membawa si tokoh utama melewati kisah filler yang tidak perlu.

Kisah filler? Ya, cerita ini banyak sekali diisi dengan kisah-kisah petualangan atau pertempuran sang tokoh utama melawan monster-monster yang menurutku tidak perlu. Saking banyaknya lama kelamaan misi awal mencari dan membawa Nairne pulang jadi tidak terasa lagi urgensinya dan sang tokoh utama jadi seperti berjalan-jalan semaunya (atau semau teman-teman barunya). Pokoknya, perjalanan si tokoh utama jadi tidak focus, sampai akhirnya di pertengahan cerita, sekitar halaman 150, baru disebut tentang Fire Location yang berhubungan dengan legenda Nightfall yang juga menjelaskan maksud sub-judul di cover depan. Waktu ini juga aku teriak dalam hati “Yes! Akhirnya nyebut konflik utama juga!” Sayangnya yang dijelaskan masih sedikit sekali dan beberapa puluh halaman setelahnya pun masih tidak ada kejelasan sama sekali tentang misi awal si Relva. Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, sampai akhir buku sekalipun tujuan awal perjalanan Relva masih belum ada kemajuan sama sekali. Memang ada satu bab khusus yang membahas tentang Nairne, tapi sama sekali tidak cukup untuk kelanjutan tujuan awal Relva.

Yang bikin aku paling kecewa sama jalan cerita novel satu ini adalah, tidak ada satu masalah utama yang benar-benar diselesaikan sampai akhir cerita. Tidak ada klimaks yang terjadi sampai lembar terakhir buku sekalipun. Penulis seolah menjadikan ini sebagai prekuel dari buku satu novelnya dimana prekuel ini tidak memberikan ketegangan atau sebuah perasaan kita harus mencari tahu ceritanya hingga akhir. Apalagi dengan terlalu banyak filler di dalamnya, yang menurutku tidak perlu dilakukan oleh sang tokoh utama. Nightfall yang digembar-gemborkan sejak awal buku juga akhirnya tidak (atau belum) terjadi. Membuatku kecewa sangat dengan jalan ceritanya. Kisah fantasi harusnya bisa lebih bagus dari ini.

Gaya penulisan
Untungnya, walau jalan ceritanya tidak bisa dibilang memuaskan tapi gaya penulisannya bisa dibilang cukup lumayan. Mas Rizky, sang penulis, sudah menuliskan tentang Nightfall dan latar belakang terjadinya sejak awal. Begitu pula tentang setting dunia yang dipakai. Penjelasan mirip narasi ini juga berlanjut di bagian tengah buku ketika dia menjelaskan tentang sejarah sebuah tempat atau suatu ras di cerita ini. Lumayan buat dasar logika n pemikiran pembaca supaya bisa sejalan sama pengarang.Sayangnya, beberapa aspek logika terasa kurang “pas” di novel ini.

Logika mana yang kerasa kurang pas? Oke biar aku sebut satu-satu, biarpun pendapatku sama orang lain bisa jadi beda disini. Yang pertama tentang setting planet dunia Nightfall, Medarda. Medarda disebut sebagai planet terkecil dalam tata surya, dan memiliki dua matahari. Walaupun tidak bisa dibilang Medarda mengorbit kedua matahari itu karena dikatakan bahwa Medarda tidak memiliki revolusi, hanya rotasi saja. Sebuah pertanyaan langsung muncul, bisakah makhluk hidup bertahan pada planet seperti ini? Apa mungkin iklim dan makhluk hidup di dalamnya bisa sama seperti di bumi? Bagaimana dengan penguapan air laut yang bisa jadi dua kali lebih banyak dari di bumi yang menyebabkan curah hujan juga jadi lebih banyak. Kalau sudah begitu berarti kelembaban di planet ini juga beda dengan bumi, dst, dst.

Oke, ini emang bukan novel sci-fi. Tapi factor logika kaya gini kan juga harus dipikirin kalau mau buat setting planet baru. Dan ada lagi masalah logika yang aneh menurutku, yaitu soal perapian. Di sebuah dunia yang tidak pernah ada malam, alias tidak ada satu waktu dalam satu hari dimana temperatur planet dan tempat diatasnya menjadi bertambah dingin, buat apa ada perapian? Kalo mau jadi tempat cahaya, bisa aja pake lilin ato apa. Ga usah susah2 bikin perapian segala.

Sebenernya masih ada lagi logika yang aku permasalahin, kaya gimana ekor kalajengking itu bekerja, tapi kayanya udah cukup ngomong kekurangannya. Sekarang aku mau ngomong soal kelebihannya. Kelebihan yang aku lihat dari novel satu ini adalah plotnya yang, walaupun tidak ada satu masalah besar untuk diselesaikan, tapi terkesan runtut dan jelas. Tidak ada terlalu banyak kebetulan atau plot device seperti yang aku temukan di novel terbitan gagas yang lain. Dari segi plot, lumayan walau ga terlalu bagus juga.

Lalu yang berikutnya adalah kekonsistenan penulis dalam menggunakan rumus “Jangan berhenti kasi masalah ke tokoh utama.” Buat yang ini, aku bisa kasih pujian ke penulisnya. Setiap kali sang tokoh utama berada dalam satu masalah (battle misalnya) sewaktu battle itu selesai bukan berarti masalah yang dihadapi tokoh utama selesai pula. Pengarang memberikan masalah baru yang sifatnya membahayakan nyawa tokoh utamanya sehingga ada sedikit perasaan urgensi yang terjadi. Walau mungkin cara membawakan gregetnya agak kurang sehingga aku juga agak kurang terlalu merasa ketegangannya. Entah kenapa setiap kali penulis menggunakan rumus ini, ada semacam suara dalem kepalaku yang sepertinya berusaha menjauhkan aku dari ketegangan yang dibangun penulis. Which means, mungkin salahku sendiri ga bisa masuk dalam alam buatan penulis. Hehehe

Oya, ada satu masalah kecil yang mau aku omongin soal gaya penulisan in, yaitu tentang kata keluar. Penulis menuliskan kata keluar dengan ke luar, yang menurutku agak aneh karena selama ini aku selalu nulis kata itu sebagai keluar. Masih ga tau sih yang bener yang mana, cuman jadi sedikit kerasa aneh aja waktu baca.

Overall, novel ini bisa dibilang ga begitu bagus, tapi juga ga terlalu jelek banget. Boleh dibaca buat koleksi atau referensi soal rumus “jangan berhenti kasi masalah ke tokoh utama” itu tadi.

Skor: 2,5 / 5