Rabu, 03 September 2008

CARDAN; INSIDE & OUTSIDE THE HINKAL CORE


Sampul
Oke bagian pertama resensi bakal ngebahas soal sampul novel ini. Dari bagian depan sampul novel ini bisa dibilang lumayan keren, gambar siluet burung phoenix berwarna emas dengan tulisan CARDAN berwarna putih diatasnya dan subjudul di bagian bawah, semuanya dengan latar belakang sampul yang hitam. Lumayan keren dan kayaknya bisa jadi salah satu factor penarik orang untuk at least ngelirik novel ini, walau sebenarnya alasan aku beli novel ini bukan gara2 sampulnya tapi gara2 berbagai macam review, yang kebanyakan negatif, yang beredar di internet. Sampul belakangnya berisi sinopsis cerita, diselingi sedikit motif seperti batu di bagian kiri bawah dan gambar sebuah pedang di samping kiri synopsis. Dari sinopsisnya bisa dibaca inti cerita yang sebenarnya lumayan (sangat) klise di genre fiksi fantasi, seorang pria yang tadinya bukan siapa2 (kalo di novel ini kayaknya dipaksain bukan siapa2) tiba2 menjadi seorang pahlawan yang ditakdirkan menyelamatkan dunia. Klise bukan? Untungnya harga bukunya murah, jadi masih bisa dibelain beli buat di review, sekalian mempelajari novel yang diterima masuk dapur redaksi.

Main Story
Setelah sampul, kini ngebahas inti cerita. Seperti dijelaskan oleh sinopsisnya, inti ceritanya sebenarnya sangat klise dan sudah biasa ada dalam genre fiksi fantasi. Bab pertama kelihatannya diawali dengan semacam flashback ke sebuah pertempuran besar sekitar dua puluh tahun sebelum cerita dimulai. Aktor utama disini adalah seorang jendral Tolan yang sampai akhir buku pertama ga disebutin jelas siapa dia (walo sebenernya gampang ditebak juga sih), tapi sayang porsi peran dia cuma dua halaman aja, alias cuma selembar kertas! Hmm…. Kalo emang bagian ini mau dijadiin prolog sih, kayanya nanggung banget.

Oke, lanjut ke bagian utamanya. Cerita dimulai dengan kegiatan normal sang tokoh utama bernama Aras di pagi hari. Dia bangun, dan pergi ke pasar untuk berbelanja. Berikutnya dia pergi ke rumah pamannya untuk mengantarkan pelana kuda. Disini terjadi satu kejanggalan yang aneh dalam cerita, Voco adalah nama paman Aras, itu dijelaskan dalam beberapa paragraf awal setelah prolog usai. Tapi kenapa setelahnya malah dikatakan kalau Voco itu sahabat baik ayah Aras? Hmm, yang mana yang bener nih?

Berikutnya cerita berlanjut sangat cepat. Dipenuhi dengan berbagai macam plot device. Aras tiba2 saja harus pergi ke hutan Dio setelah ia terpilih sebagai Cardan, dimana disana ia akan dididik oleh seseorang untuk menjadi seorang prajurit tempur yang gagah. Yang aneh adalah, bagaimana orang2 dalam kamp pelatihan itu bisa tahu kalau Aras adalah seorang Cardan tanpa sebelumnya melihat ia menyentuh batu elemennya? (aku pake istilah batu elemen disini soalnya diceritanya batu itu mewakilin satu elemen) Padahal ibunya sendiripun harus mendengar cerita dari mulut Aras sendiri sebelum yakin kalau Aras adalah seorang Cardan. Dan juga, salah seorang pelatih disana tahu kalau Aras pernah dilatih pedang oleh Voco tanpa dijelaskan darimana dia tahu itu.
Beberapa plot device yang ada sebenarnya masih bisa dibenarkan karena disertai dengan alasan. Seperti indra keenam Putri Divin yang langsung menyuruhnya bergerak kesana kemari demi memajukan plot. Tapi adakalanya terjadi plot device secara murni, tanpa alasan yang logis di dalam cerita. Selain itu, masalah logika juga menjadi masalah disini. Semisal, Fordit (salah satu tokoh utama) mampu berkonsentrasi untuk mendengarkan suara ditengah hujan pukulan keras dari lawannya; dan juga dia, Aras, Putri Divin, dan Sonia (tokoh utama cewek) mampu menahan nafas di dalam air sampai sekitar sepuluh menit! Gila, lebih jago dari perenang professional! Padahal Divin lagi dalam kondisi pingsan waktu dibawa nyebur dalem air.

Tapi ditengah segala macam kekurangan itu, masih ada satu hal yang aku anggep bagus dari novel ini, yaitu plot twist-nya. Kalo boleh muji, plot twist ini sisi paling baik dalam Cardan. Chandra berhasil bikin aku bilang dalem hati “Hah? Ternyata dia itu begitu?!” bukan cuma sekali, tapi beberapa kali dalam satu malem (karena aku berusaha nyelesein baca cepet2). Walau sayang “efek kejut”-nya ga terlalu terasa karena kalimat narasi yang kurang mengena, tapi udah bagus banget buat kejutan. Terutama di bagian bab2 akhir buku, dimana kejutan semakin bertambah dan hal2 yang aku kira bakal kejadian ternyata ga jadi2 terus, sementara yang ga diduga malah kejadian di novelnya.

Gaya penulisan

Sekarang, soal gaya penulisannya, menurutku gaya penulisan menjadi salah satu kelemahan utama Cardan. Kelemahan besar kalo boleh dibilang.

Gaya penulisannya terasa hambar. Kayaknya itu kalimat paling cocok buat njelasinnya. Si Chandra menjabarkan tentang detail situasi dan penampilan para tokohnya dengan sangat kurang. Aku mengalami kesulitan untuk benar2 bisa masuk ke dalam alam cerita yang dia buat. Alasan teknisnya kalo mau lebih tepat bisa dibilang karena dia kurang memberikan paragraf deskripsi dan narasi yang baik dalam novelnya. Setiap deskripsi tentang setting tempat sepertinya terasa lewat begitu saja, sebelum sempat merasakan keadaan lingkungan yang jelas dari settingnya. Kalo boleh dibilang, cara si Chandra menjabarkan setting dalam novel ini seperti seorang guru menjelaskan kalau 1 + 1 = 2. Memang bener sih, dan aku juga ngerti maksudnya, tapi ga ada emosi atau rasa apa untuk mendekatkan pembaca lebih jauh ke dalam settingnya.

Bukan cuma setting tempat yang seperti itu, tapi penampilan karakter juga. Sering seorang karakter hanya dijelaskan nama atau sedikit perawakannya (gendut, botak, tinggi) tanpa penjelasan yang lebih dalam lagi. Voco salah satu contohnya. Awalnya diceritakan kalau dia seorang veteran perang yang terpaksa harus menggunakan kaki buatan sebagai pengganti kaki asli yang hilang dalam perang. Tapi deskripsi itu langsung hilang dalam ingatan karena tidak dijelaskan bagaimana Voco berjalan dengan kaki itu dalam keseluruhan cerita berikutnya. Atau paling tidak, siapa yang membuatkan kaki buatan itu untuknya. Pendeskripsian tentang tato salah satu tokoh utamapun baru dilakukan di bagian tengah cerita, tanpa sebelumnya memberikan satu pertanda kalau dia memiliki tato. Padahal ternyata tato itu memiliki peran yang penting bagi masa lalu si karakter. Nuansa kejutan yang ingin dibangun oleh sang pengarang melalui penampilan karakterpun menjadi gagal total.

Tapi hal yang paling parah dari paragraf deskripsi dan narasi yang sangat kurang adalah pertarungannya yang membosankan. Jujur, sejak pertama kali disuguhkan adegan pertarungan dalam novel ini (bukan tentang si jendral Tolan itu) aku sudah mulai membayangkan adegan2 pertarungan tidak menegangkan yang akan terjadi disepanjang cerita. Mungkin biar aku jelasin dikit contoh dari bukunya biar yang belum baca bisa ngerti: pertarungan pertama itu terjadi di sebuah kamp pelatihan, dimana petarungnya adalah seorang petarung terbaik kamp pelatihan itu (yang nantinya juga jadi salah satu tokoh utama) dan satu orang lagi entah siapa. Pertarungan itu digambarkan selesai dalam dua paragraf pendek, dimana si petarung terbaik tiba2 berkelit ke bagian belakang lawannya dan menghantam bagian belakang kepalanya. Setelah itu lawannya itu langsung jatuh pingsan. Done. Selesai. Tidak ada rasa imajinasi yang muncul atau adrenalin yang terpompa di dalam kepala sewaktu membaca deskripsi pertarungannya. Dan pertarungan itu dipuji sebagai pertarungan yang hebat oleh si tokoh utama! Kalau yang hebat aja kayak begitu, gimana yang biasa2 aja?

Begitulah. Paragraf deskripsi yang kurang jelas seperti itu terus2an memangkas rasa imajinasi dalam kepala dan justru malah menambah keheranan sewaktu membaca novel ini. Tapi deskripsi bukan satu2nya kelemahan dalam novel ini. Paragraf dialog yang juga minim semakin mengurangi kemampuan pembaca untuk tersedot masuk ke dalam atmosfer cerita dan berkenalan lebih jauh dengan para tokohnya. Banyak sekali kalimat2 deskripsi atau narasi pendek yang sebenarnya bisa dijadikan satu adegan dialog menarik dan bisa memperdalam karakteristik para tokoh. Sudah bisa ditebak, karakterisasi dalam novel inipun menjadi sangat tidak terasa. Bagiku, semua karakter dalam cerita ini sama dalam hal sikap, karakteristik, tingkah laku, cara berjalan, dll. Yang paling berbeda cuma Fordit dan Zelon yang memang digambarkan sebagai karakter sinis dan sombong. Sementara yang lainnya hanya seperti boneka kayu di atas panggung tanpa ekspresi sama sekali. Really disappointing.

Oya, hampir lupa, masalah penamaan kelihatannya juga kurang diseriusi disini. Nama2 karakter sepertinya hanya diberikan sebagai tempelan bagi karakter lain untuk menyebut namanya. Tidak terasa ada aturan baku dalam pemberian nama di dunia Cardan. Orang lain boleh berargumen dengan mengatakan “Apa arti sebuah nama?”, tapi bagi saya nama dan aturan pemberian nama yang diseriusi bisa memberi kesan budaya yang lebih kental dalam dunia Cardan. Malah sebuah nama mungkin bisa jadi penunjuk status seseorang, jika ada sebuah nama yang umumnya hanya dimiliki oleh anggota keluarga kerajaan misalnya. Bukan sekedar sebuah susunan huruf untuk memanggil orang lain saja.

Oya, sedikit intermezzo sebagai penutup, kata Cardan kalau dibolak-balik urutan hurufnya ternyata bisa jadi Candra (nama pengarangnya). Hehehehe. Apa ini cuma kebetulan aja ya?

Skor: 2,5 / 5

Selasa, 02 September 2008

Artikel tentang peta

Guys, baru2 ini aku habis ngirim artikel tentang peta dan kegunaannya di cerita fantasi di sini
http://id.shvoong.com/humanities/1837129-penggunaan-peta-dalam-novel-fantasi/

Buat yang mau baca, langsung kesana aja ya. ^^