Senin, 27 Oktober 2008

Fireheart

FIREHEART; LEGENDA PALADIN; SANG PEMBURU


Sampul

Sampul dari buku satu ini bisa dibilang lumayan menarik perhatian; gambar seorang ksatria berambut merah dengan jubah yang hampir sama merahnya menutupi sebagian besar sampul depan novel ini. Kesan pertama dari melihat novelnya adalah “Dia ini pasti tokoh utamanya.” ga salah sih, walau dia yang ada di sampul novel ini bukan tokoh utama, tapi salah satu anggota kelompok tokoh utama. Di bagian atas sampul terdapat judul novel ini yang diberi efek timbul yang keren, berikut kedua sub judulnya. Ya, novel ini memang cuku unik dibandingkan novel lain yang pernah kubaca karena punya dua sub judul itu. Mungkin selain trilogi pengarangnya berencana membuat lebih banyak serial Fireheart.

Ada satu yang hampir luput dari perhatian waktu pertama kali melihat sampul Fireheart. Di bagian backgroundnya terdapat gambar sebuah menara atau istana yang sebagian besar tertutup oleh tubuh sang ksatria. Seolah ingin menunjukkan setting dari cerita. Pretty interesting. Bagian bawah dari sampul depan diisi dengan lambing penerbit Sheila. Sementara bagian belakang sampulnya berisi sinopsis dari novel ini. Berisi cuplikan dari adegan berbahaya yang dihadapi tokoh utama dan tujuan utama sang tokoh utama yang, tentu saja, harus menyelamatkan dunia dari ancaman bangkitnya kembali penguasa kegelapan.

Main Story

Cerita dari novel ini diawali dengan sedikit penjelasan mengenai dunia dan kerajaan yang menjadi setting cerita. Ditambah juga dengan sedikit penjelasan tentang pemburu dan guild mereka. Cukup ngasih gambaran tentang arti sub judul dan pekerjaan sang tokoh utama. Cerita lalu berlanjut tentang tugas yang diterima sang tokoh utama, yang bernama Robert, untuk membantai Orc dan pasukan kobold-nya. Seperti tipikal cerita seperti ini, sang tokoh utama awalnya berpetualang sendirian, apapun alasannya. Singkat kata, Robert akhirnya sampai di gua markas Orc dan pertarungannya dimulai. Aku sempet nemu beberapa masalah dalam logika di adegan bertarungnya ini.

Yang pertama, Kobold digambarkan sebagai makhluk setengah manusia setengah anjing, tapi waktu pasukan Kobold itu nyari Robert di dalam gua kok kayanya susah banget nyarinya. Kenapa ga pake penciuman anjingnya aja? Robert ga akan bisa sembunyi dari pasukan Kobold itu mau gelapnya gua kaya gimana juga. Berikutnya waktu si Kobold nggigit dada Robert, aku agak susah mbayanginnya. Gimana caranya rahang anjing bisa kebuka cukup lebar buat nggigit rompi Robert sampe sobek gitu? Kalo yang kegigit bagian lengan ato bahu aku masih bisa mbayanginnya. Bagian akhir pertarungannya juga kayaknya dibikin berakhir begitu saja. Robert menebaskan pedangnya untuk membuat satu jurus yang membelah tubuh Kobold menjadi dua bagian. Nah, kalo punya jurus hebat kaya gini kenapa ga dipake dari tadi?? Lebih gampang nyerang dari jauh daripada harus deket-deket sama musuh yang bikin dia luka parah sampe pingsan gitu.

Kemudian cerita dilanjutkan dengan adegan flashback si Robert ke suatu masa di waktu kecilnya. Sewaktu sepasukan Orc tanpa sebab yang jelas membumihanguskan desa kesayangannya. Ini pendapat pribadi dan orang lain bisa jadi punya pendapat yang beda, tapi menurutku cerita masa lalunya Robert ini terlalu panjang. Terlalu mudah ditebak. Dan sekaligus menghilangkan potensi greget dan pertanyaan yang bisa saja timbul di benak pembaca nanti kalau kisah masa lalu ini ditiadakan. Selama aku membaca dua bab khusus tentang masa lalu Robert ini yang ada dikepalaku cuma “Cepetan balik ke story utama dong!!” kisah dalam flashback-nya ini juga terasa lurus-lurus saja, akhirnya sudah bisa ditebak dari sinopsis di belakang buku.

Oke, kisah masa lalu akhirnya selesai dan perjalanan Robert akhirnya dimulai lagi. Dia mulai mendapatkan rekan-rekan baru dalam perjalannya dan berkeliling dunia semakin jauh dari kota asalnya. Seperti genre sejenis, Robert akhirnya berhadapan dengan monster-monster berwujud mengerikan, bertemu dengan karakter baru, dan terus bertualang mencari pekerjaan. Sampai dia bertemu dengan seorang kurcaci yang ternyata masih punya hubungan dengan salah satu rekan barunya. Robert menemani kurcaci itu kembali ke gunung tempat tinggalnya, hingga akhirnya Robert dituduh mencuri benda penting bagi kurcaci dan bahkan hampir dibunuh! Tapi untungnya, dia bisa selamat dari hukuman pembunuhannya itu.

Ada satu keanehan lagi yang aku temuin disini sih, yaitu masalah tempat tinggal kurcaci. Kenapa Bapa Andreas, kurcaci yang ditolong Robert, tinggalnya malah di gubuk bukan di gua? Aku ngerti sih kalo dia diasingkan sama kurcaci yang lain sampe tempat tinggalnya terpencil gitu, tapi apa dia ga bisa bangun gua baru di lembah itu buat tempat tinggalnya? Sori kalo pertanyaan ga penting, cuman bayanganku selama ini kurcaci itu tinggal dan tidur di gua, bukan di gubuk kayu.

Setelah dari gunung kurcaci, cerita lalu di-skip sampai Robert menerima sebuah surat undangan untuk melindungi sebuah pedang iblis. Pedang yang dikhawatirkan akan diambil kembali oleh sang pewaris kegelapan. Tidak cuma Robert, tapi puluhan, atau mungkin ratusan pendekar lain juga menerima surat serupa.

Setelah ini cerita secara mendadak menjadi penuh dengan karakter dan adegan action. Sampai bingung nama ini buat karakter yang mana. Apalagi ada dua orang yang punya gelar kaya bangsawan gitu. Selain para tokoh utama, yang kadang di narasi dijelasin pake istilah “pahlawan”, ada banyak sekali karakter lain yang berada disini untuk membantu para pahlawan. Sekaligus juga sebagai korban yang mati dalam perjuangannya. Ada kelemahan lain di bagian cerita ini selain masalah nama yang suka ketuker-tuker itu (masalah pribadi. Mungkin pembaca lain malah ga kerasa), yaitu saking banyaknya karakter yang ada disini, di tengah deskripsi bisa tiba-tiba ada satu jenis makhluk baru yang tadinya tidak diberitahukan kedatangannya. Ras seperti mausia kambing, tikus, atau kadal juga melengkapi daftar para pahlawan penjaga pedang iblis.

Dan, ngomong-ngomong soal kadal, logika soal manusia kadal itu juga agak aneh buat aku. Manusia kadal disini dideskripsikan sebagai makhluk berdarah dingin (dalam arti sebenarnya) yang menyukai tempat dingin! Which is weird, karena makhluk berdarah dingin seperti itu harusnya malah lebih suka tempat panas buat menghangatkan tubuhnya. Kalo nongkrong di tempat dingin bukannya malah jadi mati beku tuh kadal??

Cara para pahlawan melindungi pedang sihir juga aku masih agak ga ngerti. Buat ngelindungi pedang sihir Kraal’ shazaar dari sesuatu yang beredar melalui desas-desus, para pahlawan justru melewati semua penghalang dan jebakan yang disiapkan untuk melindungi pedang iblis sampai masuk jauh ke dalam. Kesannya kaya mereka sengaja buka jalan, ngancurin semua penjaga, lalu dengan pedenya berdiri di depan penghalang terakhir untuk menghabisi sang pewaris, setelah membuka jalan lebar untuknya berjalan santai dari pintu masuk kuil sampai halangan terakhir. Padahal lebih gampang, lebih simple, dan ga makan banyak nyawa kalo mereka semua bikin pasukan besar di depan kuil tempat pedang disegel sambil nunggu sang pewaris datang buat akhirnya dikeroyok rame-rame. Ga usah susah-susah ngalahin semua penjaga disana.

Setelah sang pewaris dikalahkan, sempet ada suasana tegang yang dibangun waktu Robert, dkk ketinggalan kapal. Tapi habis gitu jadi ilang begitu aja. Coba ditampilin adegan berantemnya. Ato dikasi satu plot twist di bagian itu. Pasti jadi lebih bagus.

Gaya Penulisan

Alright, sekarang membahas gaya penulisannya. Satu yang mesti aku bahas lebih dulu adalah format dari penempatan paragraf dan dialog dalam novel ini. Setiap paragraf dalam buku ini tidak ditempatkan secara penuh dari atas sampai bawah halaman, tapi ada jeda bagian putih yang keliatannya lebar banget dan sempet bikin aku ngerasa agak asing waktu awal-awal baca. Gara-garanya ini novel pertama yang aku baca yang pake penempatan paragraf kaya gitu. Penempatan dialog juga kayanya lebar banget antara paragraf diatas sama bawahnya. Ga terlalu mengganggu sih, cuman kerasa agak asing aja.

Dan, bagian berikut dari reviewanku ini mungkin bakal bikin banyak orang ngamuk (terutama yang suka sama novel ini), tapi kalo boleh jujur aku butuh perjuangan berat buat nylesein baca novelnya. Satu-satunya bagian yang membuatku tertarik adalah adegan berantemnya, dan pas adegan lagi “damai-damainya” aku malah ga bisa ngenikmatin. Malah cenderung kerasa bosen. Sempet beberapa kali aku punya pikiran buat put down this book and read something else, tapi tiap kali aku punya pikiran kaya gitu langsung ada suara dalem kepala yang bilang “Liat tuh! Om Pur aja udah bikin resensinya Fireheart. Masa kamu ga bisa?” Dan dengan semangat ingin membuat resensi yang baik buat novel ini, aku teruskan membaca sambil mencari sebab kenapa aku ga bisa ngenikmati baca novelnya.

Setelah perjuangan panjang membaca dan menganalisa, akhirnya aku nemu alasannya kenapa aku ga bisa enjoy baca novel ini. Dalam novel ini, aku ga ngerasa lagi ada di sebuah dunia fantasi dan melihat aksi petualangan para tokohnya. Aku juga ga ngerasa lagi ada dalam alam pikiran sang tokoh kalo misalnya tokoh itu lagi berpikir. Aku malah ngerasa kaya lagi diceritain kisah perjuangan Robert, dkk oleh orang lain yang sudah melihat petualangan mereka.
Mungkin kurang jelas kalo aku cuman ngomong gitu aja. Ini coba aku kasih contoh beberapa kalimat yang buat aku susah buat masuk kedalam alam fantasinya:

Dengan keras kepala, Eloise menendang tanah dan berjalan galau ke dalam istana. Sambil berjalan, ia melihat Robert sedang mengamatinya dengan tatapan acuh tanpa ekspresi.

Eloise berpikir,

Tampang anak ini muram sekali! Tapi, dia menarik juga. Hmm, mungkin…

Robert pun berpikir,

Dasar anak manja! Aku pasti dapat kesulitan kalau berda di dekatnya!

Lalu, pelayan istana yang memandu Robert tadi muncul dan memberi peringatan pada Robert.


Nah, itu bagian dialognya. Benernya ada beberapa dialog lain, tapi satu ini udah cukup buat jadi contoh. Dari kalimat diatas, bagian Eloise berpikir dan Robert berpikir itu yang bikin aku ga bisa masuk dalem alam pikiran mereka. Aku tidak “merasakan” kalau mereka itu berpikir, tapi “diberitahu” kalo mereka itu lagi berpikir. Begitu juga ketika karakter merasa tegang, atau tertawa. Aku hanya diberitahu perasaan mereka tanpa bisa ikut merasakannya.

Mungkin karena itu juga aku jadi ngerasa bosen sangat sewaktu adegan udah keluar dari battle dan masuk masa tenang sesaat. Selain itu, tidak ada pertanyaan atau ketegangan yang dibangun yang bisa memaksa pembaca untuk terus membaca (at least for me). Untuk sisi Robert, bagian ini sudah tidak mungkin bisa timbul karena segala pertanyaan tentang masa lalu Robert sudah dijelaskan habis-habisan dalam dua bab flashback diawal-awal.

Selain itu, novel ini juga diisi penuh sama berbagai macam jurus yang dikeluarkan karakternya. Sayangnya kebanyakan jurus hanya dijelaskan berupa nama, tanpa deskripsi bagaimana gerakannya. Berbeda dengan jurus sihirnya yang diberi penjelasan tentang bentuk sihirnya. Selain itu pengarang, Andry Chang, juga sering sekali mengulang berbagai macam nama yang dibuatnya. Mulai dari nama kuda, sampai ke nama senjata. Awalnya memang bagus kalau tahu senjata itu punya nama, berarti bukan senjata sembarangan. Tapi kalau terlalu banyak jadi membosankan juga. Apalagi pengulangan itu bisa terjadi di adegan battle yang seharusnya dibuat ber-pace cepat dan menekankan adegan battle-nya sendiri.

Lalu, apa ga ada sisi baik dari novel ini? Ga juga. Selain kesalahan yang udah aku sebut diatas, sisi positif dari novel ini adalah kepribadian para karakter yang terasa jelas dan berbeda satu sama lain. Kita bisa dengan sekejap tahu sifat dan kepribadian khusus tiap karakter bahkan waktu karakter tiba-tiba menjadi bejibun banyaknya. Mulai dari Christoper yang ceroboh dan serakah; Bapa Andreas yang bertugas sebagai penenang dalam tim Robert; Kedua karakter bergelar bangsawan dan pemimpin elf yang ketiganya jelas banget pengen jadi pemimpin dalam kelompok besar para pejuang; Juga ada Tina, cewek penyihir yang jauh lebih dingin dan pendiam daripada Robert; Dan sebagainya. Overall, novel ini benernya worth reading, kalo aja aku ga gampang bosen ditengah-tengahnya .

Skor: 2/ 5

1 komentar:

Andry Chang mengatakan...

Komentar saya cuma satu: Saya belum bisa menguasai teknik "Show, don't tell" dan "POV tunggal" dalam novel.

Kalau begini efeknya bagi pembaca, berarti kerja ekstra keras dan ekstra lama ada di depan mata: Perbaikan buku satu versi Inggris, dan waktu menterjemahkan buku dua dan tiga juga sekalian direvisi, semoga lebih entertaining dan gak cuma dapat "2/5"... Sayang juga, sesuatu yang seharusnya sangat entertaining dan seperti movie dalam kepala saya, karena teknik yang kurang matang jadi kurang enjoyable bagi sebagian pembaca.

Semoga FireHeart bisa tetap survive supaya buku 2 dan 3-nya bisa terbit...