Selasa, 28 April 2009

The book of Names

The Book of Names
Photobucket
Sampul

Sampul dari buku ini bisa dibilang cukup menarik. Judul yang tertulis besar-besar di bagian tengah terlihat sangat mencolok diantara tulisan-tulisan kecil lain dan sepasang mata yang seolah menyorot dari tempat tersembunyi. Di bagian bawah sampul terdapat sedikit kilasan tentang isi buku, dan sebuah tanda international best sellers di puncak sampul. Jelas tidak mungkin terlewatkan. jujur, sampul semacam ini juga yang berhasil menarik perhatianku sampe akhirnya memasukkan buku ini ke kantong belanja. Ada kesan misteri dan bahaya yang sangat jelas di dalamnya.

Sampul belakangnya mungkin termasuk standar. Sedikit endorsement dari penulis dan media lain, dan juga sinopsis sedikit tentang cerita utama, yang justru membuat makin penasaran dan tambah yakin buat beli.

Main story

Kisah dari buku ini sudah memikat dari halaman pertama. Seperti buku thriller umumnnya, adegan utama pasti ada pembunuhan. dan dari pembunuhan awal ini udah bikin aku penasaran dan buka2 halaman berikutnya, apalagi di prolog awal ini ada tambahan manis huruf ibrani dan sedikit info soal konflik utama nantinya. Bener2 cara yang bagus buat pembuka, termasuk bab pertamanya. Suspense-nya benar-benar sudah "dinyalakan".

Kisah selanjutnya berlanjut pelan, tapi menjadi dasar dari hampir semua plot cerita. Tiga orang anak terjatuh dari atap akibat memamerkan batu kebanggan salah satu suku Yahudi. Dua orang selamat sementara yang satu terpaksa koma selama beberapa tahun. Salah satu anak yang selamat, tokoh utama novel ini, mendapat "near-death experience" yang menyuruhnya untuk mengingat. Selama sekitar dua puluh tahun hidupnya ia tiba-tiba mendapat kilatan nama seseorang di kepalanya. Walau tidak tahu apa artinya, ia terus mencatat semua nama yang tiba-tiba muncul itu, hingga akhirnya semua menjadi jelas.

David Sheperd, sang tokoh utama, awalnya panik karena nama-nama itu tiba-tiba muncul lebih sering dari sebelumnya. Hingga akhirnya ia meminta tolong kepada seorang temannya, Dillon McGrath, seorang rabi Yahudi. Mulai dari pertolongan temannya inilah, David mulai menguak misteri nama yang ditulisnya perlahan-lahan. Dan juga mulai masuk dalam daftar buruan Gnoseos, sebuah organisasi keagamaan rahasia yang bertujuan menghancurkan dunia. Dan kematian semua nama yang dibawa David adalah cara paling pasti untuk melakukannya.

Perlahan-lahan, jumlah korban mulai bertambah. Bukan hanya nama yang disebut dalam catatan David, semua yang melindungi David pun terancam. David sendiri harus menghentikan ulah organisasi ini karena nama putrinya termasuk dalam daftar. Untungnya ia tidak sendiri. Orang-orang terbaik dalam mossad, badan intelijen Israel, juga membantunya melarikan diri sekaligus melindungi semua nama yang tersisa. Tapi siapa yang paling cepat menemukan kesemua orang itu? David atau Gnoseos?

Konflik dan rentetan cerita yang diberikan dalam novel ini benar-benar sangat mengasyikkan. Twist yang mengejutkan juga terjadi di tempat yang pas, jadi tidak terasa ada yang aneh dengan plotnya. Semuanya bisa dinikmati hingga akhir halaman.

Gaya bercerita

Gaya bercerita novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga yang menurutku sangat cocok untuk jalan ceritanya. Cerita dituturkan melalui beberapa tokoh sudut pandang, muulai dari David Sheperd sendiri, sampai ke para calon korban Gnoseos. Kisah novel ini, walau terasa lambat di awalnya, memasuki pertengahan mulai bertempo cepat dan menahan napas. Build up suspense-nya juga terasa luar biasa dengan menggunakan berbagai sudut pandang untuk waktu yang hampir bersamaan.

Sayangnya, penggunaan berbagai sudut pandang itu juga yang menjadi kelemahan novel ini. Terkadang aku jadi lupa sendiri siapa pemilik nama ini, sampai harus mencari-cari lagi di halaman awal. Sekali lagi, mungkin ini masalah pribadi, tapi jelas masalah kecil seperti ini cukup mengganggu keasyikan membaca.

Satu lagi yang menarik disini adalah pengarang memberikan cukup banyak detail suasana dan lokasi. Termasuk ketika rombongan protagonis akhirnya sampai di Jerusalem. Detail suasana, lingkungan, dan tradisi disana seolah mengesankan kita sendiri juga berada di sana dan menikmati panas gurunnya. Detailnya terasa baik tanpa melambatkan tempo. Ditambah dengan berbagai istilah mistik dan keagamaan Yahudi, suasana Yahudi dalam novel ini menjadi sangat terasa.

Overall, novel thriller ini sudah memenuhi tugasnya sebagai novel thriller. Membuat pembaca tegang, deg-degan, dan bisa ikut merasakan ketakutan dari tokoh utama. Bacaan yang tidak boleh dilewatkan!

Skor: 4/ 5

Sabtu, 07 Februari 2009

The Girl Who Loved Tom Gordon

Photobucket

THE GIRL WHO LOVED TOM GORDON



SAMPUL

Kalau dibilang sampul harus melambangkan keseluruhan isi buku, maka sampul buku ini bisa dibilang tepat menggambarkan isi bukunya. Dari sampulnya terlihat seorang anak perempuan seperti sedang berlari menembus cabang dan ranting di dalam hutan. Di bagian atas dan bawah kovernya, tercetak dengan warna kuning emas, judul buku dan nama sang penulis, sang raja horror Stephen King. Dan sepertinya nama King benar2 dipakai sebagai unsur penjual disini, terlihat dari nama King yang dicetak JAUH lebih besar dari judul bukunya sendiri.

Sedikit cuplikan di bagian belakang bukunya juga sudah lebih dari cukup sebagai faktor pengundang memasukkan buku ini ke dalam kantong belanja. Trisha, nama tokoh utama kita, tersesat di tengah hutan sewaktu berjalan-jalan bersama keluarganya. Sebagai gantinya di tengah hutan ia hanya ditemani oleh radio yang menyiarkan pertandingan baseball dari tim kesayangannya, Boston Red Sox, dimana Tom Gordon bermain. Tapi sayangnya dia tidak sendirian di dalam hutan, karena ada sesuatu yang mengikutinya, sesuatu yang menunjukkan keberadaannya hanya dengan bekas cakaran di pohon dan bangkai binatang yang terkoyak.


MAIN STORY

Ceritanya sebagian besar sudah cukup dijelaskan oleh sinopsis di bagian belakang buku. Seorang gadis tersesat dan terus berjalan mencari pertolongan di dalam hutan yang lebat, menyusuri sungai hingga sampai ke rawa2, dan sebagainya. Alur cerita terasa lurus2 saja dengan usaha Trisha mencari jalan keluar dan kesulitannya bertahan hidup di hutan, tidak ada plot twist yang berbeda jauh dari dugaan pembaca. Kadang-kadang ada flashback sedikit tentang kenangan Trisha bersama keluarganya. Terkadang juga ada suara-suara dalam kepala Trisha yang terus mengatakan hal buruk dan menakut-nakutinya selama berada di dalam hutan, menambah kesan nyata dan atmosfer seram dalam cerita.

Tapi sudut pandang tidak dari Trisha saja, kadang sudut pandang diganti menjadi sudut pandang tim pencari dan keluarga Trisha, yang bingung dan harus menerima berbagai macam berita tentang keadaan Trisha. Nah, disini Stephen King menggunakan teknik yang cukup unik, biasanya dalam pergantian sudut pandang ini penulis akan menambah satu baris antara paragraf sudut pandang A dan sudut pandang B, tapi disini Stephen King tidak menggunakan baris tambahan sebagai penanda berubahnya sudut pandang. Hebatnya, walau menggunakan teknik yang tidak umum seperti itu, perubahan sudut pandang tidak terasa mengganggu dan berjalan lancar begitu saja.

Sementara itu, makhluk yang mengikuti Trisha semakin lama semakin jelas menunjukkan keberadaannya. Mulai dari jejak kaki, bangkai binatang, hingga akhirnya ia benar2 muncul di depan Trisha. Dan ia kelihatan sangat ingin mencabik lagi.

GAYA BAHASA

Cara Stephen King membuka cerita, ia mengawalinya dengan menceritakan bahwa Trisha akan segera tersesat di hutan, walau pun saat itu Trisha masih duduk menikmati sarapannya. Teknik menceritakan apa yang akan terjadi berikutnya ini juga sering digunakan oleh King dalam cerita nantinya. Selain itu King juga menuliskan dengan detail semua medan yang dilalui Trisha dalam hutan, baik itu tebing tinggi ataupun rawa2 yang memendam tubuh Trisha sampai sepinggangnya, semuanya digambarkan dengan detail tanpa membuat mata dan pikiran lelah. Sayangnya, karena aku sendiri belum pernah masuk ke dalam hutan kaya dalam cerita ini, aku kadang agak sulit membayangkan suasananya, tapi itu masalahku sendiri aja kok yang mungkin orang lain ga kerasa.

Dalam ceritanya Trisha hampir selalu sendiri, kecuali ketika terdengar suara ranting patah atau langkah kaki yang berat. Dan selama itu pula pembaca disuguhi ratapan dan kalimat kekesalan Trisha ketika tersesat di dalam hutan. Tapi isi dialog novel ini bukan hanya sekedar monolog saja. Dalam ketakutannya, Trisha membuat sebuah imajinasi Tom Gordon yang sedang berdiri menemaninya, mendampinginya sepanjang perjalanan. Bahkan terkadang memberi kalimat yang menenangkan hati Trisha.

Overall, karya King ini memang benar2 hebat. Ga akan rugi kalo diambil dari rak toko buku.

Skor: 4/ 5

Senin, 22 Desember 2008

The Old Man and The Sea

Oke, aku tau dulu aku pernah bilang ini cerita mungkin ga aku resensi, tapi rasanya ga tahan juga kalo mbiarin buku bagus kaya gini ga disebar ke orang lain. Lagian, produksi baca buku sekarang lagi berkurang, jadi aku kirim ini aja dulu.


Sampul
Sampul dari karya masterpiece buatan Ernest Hemingway ini cukup sederhana, gambar seekor ikan pedang dengan sirip yang luar biasa besar sedang melompat keluar dari dalam air. Background-nya putih, sementara warna air lautnya sendiri dibagi menjadi tiga warna biru yang berbeda-beda. Cukup sederhana dan juga cukup menggambarkan isi ceritanya tentang perjuangan seorang nelayan tua menangkap ikan raksasa. Nama pengarang di bagian atas dicetak dengan huruf berwarna emas yang keren dengan ukuran yang hampir sama dengan ukuran huruf judulnya sendiri, sepertinya memang untuk menonjolkan nama Hemingway sendiri. Satu tambahan terakhir dari sampul depan novel ini adalah sebua stempel karya Masterpiece warna merah yang memang cocok diberikan pada novel ini.

Sementara di sampul belakang tidak tertulis sinopsis singkat novel ini. Tidak juga berisi endorsement dari orang-orang penting tentang betapa dahsyatnya karya Hemingway ini, melainkan berisi pencapaian prestasi Hemingway dalam dunia tulis menulis, antara lain hadiah Pulitzer pada tahun 1953; Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters juga pada tahun 1953; dan penghargaan paling bergengsi dalam dunia kepenulisan, yakni Nobel Sastra pada tahun 1954! Sebuah bukti kedahsyatan karya Hemingway. Ditambah juga sedikit pujian penerbit atas eksekusi Hemingway dalam penulisan novelnya ini.

Main Story
Cerita dalam buku ini sebenarnya sederhana, perjuangan mati-matian seorang nelayan tua dalam menangkap ikan, dimana sebelumnya selama sekitar 84 hari dia tidak pernah menangkap satupun ikan. Santiago, nama nelayan tua itu, sangat ingin mendapatkan ikan walau cuma seekor demi mengakhiri nasib buruknya. Di permulaan buku, dia sering sekali berkata kalau nasib sialnya akan hilang dalam 84 hari, dan pada hari ke 85 nasib baiknya akan muncul lagi. Pada hari ke 85 Santiago akhirnya berlayar sendirian ke lautan yang lebih jauh dan dalam dari laut yang biasa dilayarinya sendirian. Tanpa bantuan dari seorang bocah laki-laki yang bertekad ingin membantunya di hari ke 85-nya.

Singkat cerita, Santiago mulai memancing, beberapa kail sekaligus. Awalnya ia tidak mendapat apa-apa, samai akhirnya keberuntungan yang ditunggu-tunggunya itu datang juga. Seekor ikan yang luar biasa besar menangkap umpannya dan kail pancingnya terus terkait pada mulut ikannya. Santiago akhirnya harus berjuang habis-habisan menarik sang ikan sampai dia berhasil diangkut ke atas kapalnya, walaupun ikan itu telah menariknya sampai tiga hari tiga malam di atas kapalnya!

Ceritanya dalam novelette ini bukan tentang penyelamatan dunia ataupun pencarian jati diri melainkan tentang perjuangan. Bagaimana semangat dan sikap keras kepala Santiago terus menyala dalam dirinya selama tiga hari di atas lautan bersama ikan yang ganas. Diakhiri dengan ending yang sangat pas pula. Sangat puas rasanya membaca novelette satu ini.

Gaya Penulisan
Aku nggak bisa bilang apa-apa soal gaya penulisannya selain gaya penulisannya benar-benar hebat dan dahsyat. Aku tidak bisa menemukan satupun kekurangan dalam gaya penulisannya karena memang tidak merasa sedang membaca buku. Seringkali adegan-adegan dalam buku ini terbayang dalam kepala seperti sedang melihat film. Cara Hemingway membawa pembaca dari halaman awal cerita sampai halaman akhirnya, wlaaupun tidak dibagi dalam bab-bab, membuatku tidak bisa melepaskan buku ini sampai jauh tengah malam. Belum lagi monolog Santiago ketika di tengah lautan, sendiri, dan berharap dia membawa garam.

Singkat kata, buku yang harus dibaca oleh semua orang, apalagi yang ingin belajar cara membuat cerita yang dahsyat. Kalaupun harus kucari kelemahannya, itu mungkin ada di terjemahan dan beberapa istilah kapal yang aku ga tau, tapi ga terlalu mempengaruhi keasyikan membaca kok. Oh, ya, dan harga yang terlalu murah. Karya luar biasa seperti dijual cuma dengan harga Rp 31.000 padahal ada banyak buku lain yang kualitasnya ga seberapa dibanding buku ini dijual dengan harga yang jauh lebih mahal, padahal kalau buku ini dijual dengan harga yang lebih mahal juga setimpal kok dengan kualitasnya.

Skor: 4,5/ 5

Kamis, 27 November 2008

Sang Penandai


SAMPUL

Tentang sampul, kalo boleh dibilang Sang Penandai cukup bagus dalam membuat sampulnya. Gambar kelima tokoh utama dan siluet sebuah kapal di latar belakang cukup memberi gambaran tentang isi cerita yang sebagian besar berkisah tentang penjelajahan laut dan ilustrasi tokoh utamanya cukup memberi gambaran tentang tokoh utama yang akan berperan dalam cerita ini nantinya. Hanya saja, ada sedikit ganjalan. Mungkin ada beberapa orang yang beda pendapat, tapi gambar ilustrasi para tokoh yang terdapat pada sampul depan novel ini terasa mirip dengan karakter-karakter yang ada di LOTR. Sang Penandai berjubah putih terasa begitu mirip dengan Gandalf; Laksamana Ramirez yang memegang pedang bisa disamakan dengan Aragorn; dan sosok Jim terasa mirip dengan Frodo. Mungkin ini bukan merupakan suatu kesengajaan dari sang illustrator, tapi kemiripan seperti ini yang dulu sempat bikin aku mengembalikan buku ini ke dalam rak, bukannya ke tas belanja. Sampai akhirnya adaperdebatan tentang isi novel ini di internet dan menjadi penasaran sendiri dengan isinya sampai aku cari lagi.

Pada sampul belakang, warnanya terkesan gelap dengan sedikit “noda” warna terang. Seperti novel Tere-Liye lainnya yang sempat aku temukan di toko buku, bagian belakang novel ini begitu penuh dengan endorsement sampai-sampai tidak ada tempat untuk sinopsis cerita. Entah apa ini memang strategi dari mas Tere sendiri atau bukan, tapi sampul belakang tanpa sinopsis ini tidak berhasil membuatku tertarik dengan isi bukunya. Setidaknya, sampai ada perdebatan seru di internet antara pendukung dan pencela novel ini yang akhirnya memaksa aku hunting novel ini sekali lagi.

Dan, berbicara tentang endorsement yang terdapat di bagian belakang novel ini, terdapat beberapa nama yang sudah cukup terkenal memberikan endorsement untuk buku ini. Seperti penulis novel terkenal, Habiburrahman El Shirazy, dan penyair Taufiq Ismail. Bagi penggemar karya-karya kedua orang tersebut, pasti menjadi ingin tahu tentang isi dari novel ini.

MAIN STORY

Main story. Seperti yang sudah banyak beredar di internet, dan dari sampul depannya, setting cerita dalam novel ini banyak terdapat di sebuah ekspedisi perjalanan sebuah armada kapal, yang diberi nama Armada Kota Terapung, untuk menemukan Tanah Harapan. Karakter utama yang menjadi mata pembaca sepanjang cerita adalah Jim, seorang kelasi yang beberapa hari sebelum Armada Kota Terapung berlabuh di kotanya, kehilangan sang kekasih hati akibat bunuh diri. Setelah sang kekasih pergi, Jim didatangi oleh seorang pria tua misterius yang mengaku bernama Sang Penandai. Sang Penandai mengaku kepada Jim kalau ia adalah sang pembuat dongeng. Ia membuat orang-orang menjalani kisah bagai dongeng untuk akhirnya diceritakan kepada orang lain.

Seolah untuk menekankan perannya sebagai pemandu cerita, ia menceritakan kepada Jim pendapatnya tentang sebuah cerita yang sudah melegenda 400 tahun di kota tempat asal Jim. Bahkan mengaku berada disana dan memandu tokoh utama dalam dongeng tersebut. Akhirnya ia malah merendahkan dongeng tersebut dengan menyebutnya bodoh. Setiap orang bisa berpendapat berbeda tentang Sang Penandai pada saat ini, tapi menurutku pendapatnya itu justru membuatku mempertanyakan konsistensi sifat dan perannya sebagai pembuat dongeng.

Begini, Sang Penandai pada awal cerita sampai pada akhirnya selalu mengatakan kalau perannya adalah membuat dongeng yang nantinya bisa dikenang dan diceritakan kepada orang di seluruh dunia. Tapi sekalinya ada sebuah dongeng yang begitu melegenda, bertahan sampai ratusan tahun, bahkan menjadi sebuah tradisi di kota itu malah dikatakan bodoh olehnya. Padahal dia sendiri mengaku ikut membantu pembuatan dongengnya! Sesuatu yang sampai akhir buku tidak dijelaskan kenapa.

Cerita berlanjut dengan Jim akhirnya mengikuti ekspedisi Armada Kota Terapung mencari Tanah Harapan. Disini Jim berteman dengan sesama kelasi bernama Pate (yang sampe sekarang aku ga tau dibaca pake cara baca orang Indonesia, ato orang Inggris?). Setelah beberapa lama, halangan besar pertama bagi Armada Kota Terapung akhirnya muncul. Pasukan perompak Yang Zhuyi.

Dikisahkan kalau empat puluh kapal Armada Kota Terapung berhadapan dengan ribuan kapal milik perompak Yang Zhuyi. Dengan perbedaan kekuatan sebesar itu pun Yang Zhuyi tidak langsung menyerang habis-habisan armada pimpinan Laksamana Ramirez, tetapi menyerang perlahan-lahan dengan mengirim ribuan kapal kecil (seperti kano, IIRC). Dengan cara ini, Yang Zhuyi seolah-olah memaksa Laksamana Ramirez bertarung hand-to-hand di atas kapal, bukannya saling tembak peluru meriam. Peluru meriam memang sempat ditembakkan oleh sang Laksamana dalam serangan pertama Yang Zhuyi, tapi dikisahkan kalau peluru meriam ini tidak berguna. Tapi, bagaimana bisa? Tiga puluh kapal perang dengan sepuluh meriam pada tiap sisinya berarti bisa menembakkan tiga ratus peluru meriam sekali tembak! Kalaupun tidak kena semua, setelah beberapa kali tembakan, berarti sekitar seribu peluru ditembakkan, kalo kena sebagian, paling nggak keliatan efeknya ke kapal kecil Yang Zhuyi itu. Masa segitu banyak peluru meleset semua?!

Yang juga bikin aku kaget adalah, setelah tembakan dari tiga puluh kapal itu, kapal-kapal kecil dari Yang Zhuyi kelihatannya tahan ombak. Tidak ada yang terbalik karena diterjang ombak. Padahal, kalo dalam imajinasiku, sewaktu tiga ratus peluru meriam yang gede amit-amit itu menghantam laut pada waktu bersamaan, paling nggak bakal ada gelombang yang cukup buat mengombang-ambingkan kapal kecil segitu banyak. Dan kalo pelurunya sampe ratusan gitu, bukan ga mustahil kan itu kapal kecil bakal kebalik gara-gara ombak?

Pertempuran maha dahsyat ini juga berlangsung lama banget. Sampe sekitar satu bulan kalo aku ga salah inget. Dan dalam pertempuran selama itu aku makin ngerasa kalo Laksama Ramirez itu lemah banget. Bayangin, dia diserang berhari-hari sama musuh yang pake strategi yang sama terus-terusan, dan dia ga bisa bikin strategi balasan buat ngelawan strategi andalan musuhnya itu? Lame! Berakhirnya pertempuran itu juga parah banget. Bikin aku keluarin pertanyaan yang udah aku pernah tanya di Fireheart: “Kenapa ga dipake dari tadi?!” Sampe mesti nunggu satu orang tua cerewet muncul buat ngasi tau strategi yang kayanya justru udah disiapin sama Laksamana sendiri! Payah. Dan kalo emang Laksamana iu kewalahan ngelawan pasukan perompak itu, kenapa dia gak mundur aja? Toh, dia cuman dihadang sama mereka, yang berarti jalan dia buat kabur masih kebuka lebar banget! Kenapa ga lari buat minta pertolongan misalnya, daripada ngabisin sekian banyak waktu ngorbanin bahan makanan, nyawa pasukan, dan satu kesempatan ketemu sama Sang Penandai.

Selesai menghadapi Yang Zhuyi, perjalanan ekspedisi pimpinan Laksamana Ramirez terpaksa berhenti sebentar di kota pelabuhan terdekat buat ngereparasi kapal-kapalnya. Selama waktu itu, Jim sama Pate berkelana sampai ke puncak Adam, dimana di dekat puncak itu Jim sempat bertemu dengan seorang gadis yang sempat membuat dia jatuh cinta. Tapi sayang, akhirnya Jim harus meninggalkan gadis itu dan ikut serta kembali bersama dengan Armada Kota Terapung.

Ekspedisi terus berlanjut sampai berbulan-bulan. Armada kapal Laksama Ramirez terus bertahan empat bulan di atas laut tanpa menepi berkat jaring raksasa pemberian walikota tempat mereka berlabuh sebelumnya. Sejujurnya, aku agak ngerasa aneh mbayangin kapal besar seperti kapal Laksamana Ramirez buang sauh buat ngelempar jaring dan nyari ikan. Soalnya aku ngerasa selama ini kapal yang cari ikan pake cara kaya gitu cuma kapal nelayan. Tapi berhubung pengetahuanku soal kapal dan mencari ikan kaya gini ga terlalu banyak, aku komentar segini aja.

Akhirnya kapal Laksamana sampai di kota baru, kota Champa yang deskripsi latarnya rasanya mirip-mirip sama Negara Cina. Di kota ini, Laksamana dan pasukannya membantu penduduk kota menghadapi pemberontak yang jago ilmu kung fu. Tapi masalahnya justru jauh lebih besar bagi Jim, karena di kota ini Jim bertemu dengan seseorang yang bisa dibilang tiruan sempurna dari Nayla-nya. Mulai dari wajah hingga suara, semuanya mirip! Perasaan Jim terombang-ambing lagi. Apalagi setelah walikota menawarkan anaknya, yang mirip dengan Nayla itu, menjadi istri Jim dan Jim bisa tinggal dengan segala kemewahan pemimpin kota. Pilihan Jim terbagi antara menerima tawaran dan menjadi calom pemimpin kota, atau ikut kembali bersama Laksamana untuk menemukan Tanah Harapan? Sebuah pilihan yang sulit, tapi akhirnya Jim lebih memilih meninggalkan kota itu dan membantu Laksamana.

Perjalanan hampir mencapai akhir. Armada Kota Terapung terus berlayar di daerah lautan yang seolah tak bertepi. Entah berapa lama mereka berlayar dengan hanya melihat laut, laut, dan laut. Tanpa ada kejelasan bahwa mereka akan segera sampai menuju Tanah Harapan. Kondisi ini akhirnya memaksa sebagian prajurit dan kelasi memulai pemberontakan di atas Armada Kapal, bahkan sampai menyerang kapal utama tempat sang Laksamana berada. Akhirnya Laksamana memerintahkan perlawanan penuh terhadap para pemberontak, walau sebenarnya aku lebih mengharapkan Laksamana untuk menunjukkan kemampuan memimpinnya disini. Aku ingin lihat kemampuan diplomasi dan leadershipnya yang membuat dia bisa menjadi Laksamana dengan memberi satu perintah, atau penjelasan kepada prajuritnya sebelum akhirnya memilih menggunakan kekerasan. Memang dia kalah suara dalam rapat dengan para pemimpin kapal lainnya, Laksamana menginginkan damai sementara pemimpin kapal lainnya meminta kekerasan. Tapi justru disitu seharusnya kemampuan sebagai Laksamana ditunjukkan! Dia harus bisa dan berani menjalankan apa yang menjadi keputusannya sendiri walau menentang pendapat banyak pihak. Karena, dia laksamana-nya! Perintah dia atas seluruh kapal adalah mutlak! Dia harusnya lebih berani dalam menentang keputusan pemimpin kapal lainnya dan mencoba bernegosiasi dengan para pemberontak terlebih dulu.

Keudian, akhir cerita. Aku nggak mau banyak spoiler disini, karena itu hartanya penulis, tapi aku mau bilang kalo aku kecewa sama endingnya. Setelah sekian banyak petualangan dan perjuangan yang dilalui Jim dan kawan-kawannya, kenapa ending ekspedisi kapalnya malah cuma begitu aja? Padahal kalo mau dipanjangin lagi juga ga masalah tuh. Perjumpaan dengan Sang Penandai di akhir cerita juga yang bikin aku kecewa. Seperti yang dulu pernah di bahas di salah satu forum di internet, akhir cerita ini Sang Penandai bukannya menolong Jim yang memanggilnya malah ceramah panjang lebar entah berapa halaman tentang akhir yang seharusnya dilalui Jim. Padahal Jim sudah melalui semua petualangan itu sendiri, seharusnya dia bisa membuat kesimpulan sendiri! Gak perlu penjelasan panjang lebar dari orang yang ga nolongin dia sewaktu dia perlu!

GAYA PENULISAN

Hmm, oke. Sekarang mbahas soal gaya penulisan Tere-Liye. Komentar pertama dari gaya penulisannya adalah, bingung. Aku bingung sama sudut pandang yang dipake sang penulis, juga soal setting tempatnya. Awalnya, berdasarkan review yang aku baca di internet, aku anggep cerita ini ngambil setting di abad pertengahan. Standar gimana orang Indonesia bikin cerita fantasi. Tapi kemudian aku ketemu kata "kantor" disini. Otomatis aku jadi pindah pikiran, mbayangin kalo mungkin settingnya udah modern dikit. Jadi aku bayangin setting kotanya mirip-mirip sama London abad 19. Ternyata kemudian senjata utama para tokoh disini adalah pedang! Lihatlah! Deskripsi settingnya udah bikin aku bingung setengah mati. Jika kalian membaca novel ini dengan asumsi yang aku punya, niscaya kebingungan kalian akan serupa.

Lalu, sudut pandang. Biasanya sudut pandang yang diambil dalam novel fantasi adalah sudut pandang orang ketiga. Tapi dalam novel ini aku merasakan awal cerita seperti diceritakan dengan sudut pandang orang kedua, dengan kata "kalian" tersebar di berbagai tempat. Awalnya aku anggep bagus, baru pertama kali ini aku ketemu sama novel yang pake sudut pandang orang kedua. Tapi tanpa pertanda dan permisi sudut pandang itu diubah menjadi sudut pandang orang ketiga! Apalagi perubahan sudut pandang itu bisa terjadi dalam satu paragraf tanpa pemisahan sebelumnya. Lihatlah! Bagaimana penggunaan sudut pandang yang tidak konsisten ini bisa membingungkan orang yang membacanya. Jika kalian melihat wajahku waktu baca novel ini mungkin sudah bertanya-tanya, "Sakit perut kamu, Dan?"

Terus, aku ga tau apa ini kebiasaan atau ciri khas Tere-Liye, tapi buku ini ditulis dengan menggunakan kalimat yang bernada puitis. Lengkap dengan penjabaran emosi sang karakter melalui gaya puitisnya, sampai ke penemuan kosa-kata baru dari Tere-Liye untuk mengakomodasi gaya penulisan puitisnya. Dan, walau bagi sebagian orang gaya tulisan ini mungkin bisa dibilang bagus atau indah, aku malah ngerasa asing dan kadang-kadang ketawa sendiri waktu baca tulisan puitisnya itu. Mungkin agak sedikit menyinggung, tapi coba aku kasih contoh tulisannya.

Semua terlihat jingga. Matahari senja hampir terbenam di ufuk barat. Langit berwarna jingga. Buih ombak laut yang tenang memantulkan warna jingga. Bangunan-bangunan kota terlihat jingga. Pasir yang dipijak berwarna jingga. Gumpalan awan putih terlihat kemerah-merahan, jingga.

Hati Jim juga sedang jingga.


Nah! Ini cuman salah satu kalimat yang bikin aku ketawa waktu baca novel ini. Mungkin sang penulis sedang mencoba menjelaskan kondisi kota waktu itu yang penuh warna jingga. Tapi apa hubungannya warna itu sama kondisi hati Jim? Sampe nyebut hati Jim sedang jingga, emang hati jingga apa artinya?

Itu baru satu contoh dari sekian banyak kalimat puitis yang dibuat Tere-Liye dan salah satu contoh yang bikin aku ketawa. Selain kalimat puitis, Tere-Liye juga sering mengungkapkan perasaan karakter, atau apa yang dilakukan karakter dengan kalimat-kalimat pendek. Sering cuma dengan satu kata. Terkadang, cara ini berhasil, tapi terkadang juga aku rasa ga pas dan malah membuatku ga bisa masuk kedalam alam pikiran sang tokoh dan tindakannya. Tergantung orangnya juga mungkin.

Selain kalimat puitis dan kalimat-kalimat pendek itu ada satu lagi kebiasaan Tere-Liye, yaitu dia sangat sering menggunakan huruf italic untuk menekankan maksud tulisannya. Terkadang bukan cuma di kalimat2 yang penting tapi kalimat atau kata yang menurutku sama sekali tidak perlu diitalic. Entah kenapa dan apa maksud Tere-Liye dengan cara penulisan seperti ini, tapi yang jelas cara penulisan ini sangat mengganggu proses membaca sampai akhir.

Tapi ada satu yang aku bilang bagus dari novel ini, yaitu kepribadian tiap karakter yang jelas terlihat dari tindak-tanduk dan ucapannya. Khusus untuk Jim, hal ini juga terlihat dari konflik batinnya yang seolah selalu ada dari awal hingga akhir cerita. Sampai ia dijuluki Perwira yang Menangis dan sejenisnya. Walaupun aku agak aneh mbayangin gimana caranya orang bisa berantem sambil nangis gitu.

Ehm, aku ga tau ini penting apa nggak, tapi salah satu “kosakata baru” yang dibuat Tere-Liye disini juga termasuk penggunaan satu kata metafora tanpa pasangannya. Seperti jerih tanpa payah, atau kuyup tanpa basah (yang akhirnya juga jadi suasana hati Jim). Maksudnya emang nangkep tapi sempet bingung juga waktu baca. Dan juga Tere-Liye juga pake istilah Panekuk disini untuk sesuatu seperti prajurit ato semacamnya, sementara setauku Panekuk itu istilah bahasa Indonesia untuk Pancake. Aku ga tau kalo ada istilah lain, tapi jelas ini cukup bikin aku /swt.

Jadi, kesimpulannya novel ini lumayan bagus buat dibaca. Mungkin bisa jadi novel yang bagus banget buat orang yang suka gaya bahasa puitisnya, tapi buat yang ga kebiasa bolehlah dibaca buat selingan dari novel fantasi lokal yang selalu berisi tema “Pahlawan menyelamatkan dunia”

Skor: 3/ 5

Senin, 17 November 2008

Cerita yang tidak sempat diresensi

Buat ngisi blog sambil nunggu resensi berikutnya selese, aku mau pasang daftar buku yang ceritanya ga sempet aku resensi. Dan mungkin bakal lama sampe aku resensi lagi. Buku2 ini aku bagi jadi dua kategori, yang memuaskan dan yang tidak.

Tidak memuaskan:
Pinissi; Kisah Orang-Orang Setinggi Lutut.
Buku ini ga selese aku baca semata karena gaya ceritanya seperti sebuah dongeng untuk anak-anak. Yang mungkin juga jadi target market dari sang pengarang. Dan karena aku udah ga tertarik sama dongeng buat anak-anak, kayanya wajar kalo aku ga terlalu suka sama buku ini.

Candikala; Misteri Pulung Gantung
Kalo disuruh jelasin kenapa aku ga suka buku ini, aku bakal bilang "Tertipu endorser." Endorser di bagian belakang buku, yang membuatku tertarik membaca dan membeli bukunya, ternyata jauh berbeda dengan isi buku yang aku baca. Kesemua endorser itu berisi pujian kepada penulis, bagaimana mereka tidak bisa meletakkan bukunya setelah mulai membaca. Tapi aku justru merasa sangat bosan dan kecewa membaca Candikala ini. Benar-benar tidak worth it dengan uang yang aku keluarkan untuk membeli. Begitu banyak kesalahan dalam penulisan kalimat dan dialog sehingga membuatku berpikir, apa pantas diberi pujian setinggi itu?

Shalahuddin Al-Ayyubi
Masalah utama aku ga selese baca buku ini, karena buku ini tidak membuatku merasa "bergairah" untuk terus membaca. Data-data sejarah sang pengarang mungkin sangat banyak dan mencukupi, tapi aku tidak merasa tertarik untuk membaca sampai akhir.

Memuaskan:
Harry Potter series
Eragon
Eldest
The Old Man and The Sea
Golden Compass
Banyak buku, dengan satu alasan: Kesemua buku-buku ini membuatku serasa tertarik masuk kedalam dunia mereka, sehingga aku tidak merasa sedang membaca buku tapi seperti sedang mengikuti kisah perjalana sang tokoh utama dari awal hingga akhir. Membaca buku2 ini, serasa seperti sedang melihat sebuah film.